Jumat, 06 Juni 2014

Cerita Nuri Cinta Lingkungan Hidup



Seperti biasa, ia mempersilahkan makanan kepadaku dengan wajah tersenyum. Dengan manja aku menerima semuanya darinya. Hidup seperti ratu bukanlah keinginan satu dua orang, namun banyak orang. Tanpa perintah, mereka berbaik hati padaku. Sekalipun terkadang, rasanya bosan menerima segala kebaikan mereka terus menerus. Dan keluhan sesaat terbayar ketika mereka mendengarkan aku serius bernyanyi, simbol terimakasihku.
Mungkin, aku adalah makhluk ajaib, aku mengerti segala bahasa mereka, hingga bahasa yang tersirat. Pagi itu seperti biasa, Rio anak laki-laki berumur 12 tahun dengan gesit membuntuti Ayahnya ke halaman rumah. Dengan pakaian lepas dari tidur, mereka membuka ember-ember sampah yang berwarna-warni. Ember itu berasal dari ember bekas cat tembok yang berukuran besar. Waktu itu, hari libur mereka, dengan sumringah mereka melumuri ember itu dengan cat putih sebagai warna dasar, kemudian diberi corat-coret sang Rio kecil. Coret-coret itu berwarna-warni dan lebih terkesan seperti lukisan abstrak, dibanding terlihat lukisan yang jelas dan utuh.
Dua ember bekas itu masing-masing memiliki nama, yang satu bernama ‘sampah organik’ dan ‘sampah nonorganik’. Ayahnya yang sabar, menjelaskan perbedaan jenisnya, dengan memperlihatkan barang-barang jenis sampah tersebut.