Kamis, 16 Mei 2013

RASA ELOK PANTAI TANJUNG PAPUMA-JEMBER Bersama teman-teman Solidaritas.




Lagu Elok dari Padi berdering menggetarkan Hp Nokia Atiqah, pesan masuk, “Atiqah, lagi ngapain?” dari temannya, Fian.
“lagi nungguin bus, sama temen” mau ke jember, busnya belum datang nih L bete. Kita mau ke pantai Papuma-Jember, hehe. Pernah dengar nda ?” ketik Atiqah seraya menekan tombol ‘send’.
“wah, kerrenn banget tuh pantai qah, aku diceritain ma banyak temen”ku, aku pernah ngerencanain bareng temen” kesana juga tapi belum kesampean, J senengnya, ngiri nih :p” jawabnya.
Atiqah tersenyum, berkhayal sebuah pantai bergelut ombak.

Pukul 10.00 WIB bus juga tak segera menampakkan badannya. Atiqah dan teman-teman lainnya berdecak kesal, sudah mulai pukul 08.00 WIB mereka menunggu bus itu. Atiqah bosan, dan segera bertanya pada ketua pelaksana kegiatan ini, sekalipun Atiqah tahu ini adalah acara gratis –yang seharusnya tidak perlu banyak komentar-. Hari, ketua pelaksana menjawab bahwa angkutan darat besar itu sedang otw ke kampus, “dari Amerika busnya” ujar salah satu pantia bercanda. Atiqah menjawab dengan senyum kecut. Lelah seharian berada di luar kasurnya yang empuk. Sebelumnya, tadi pagi sampai magrib, Atiqah dan teman-teman mengikuti rapat kerja majalah yang akan diterbitkan sebulan lagi. Kegiatan jalan-jalan ini dilakukan untuk menyegarkan pikiran kembali dan memberi inspirasi yang segar lagi. Sesegar khayalannya tentang Pantai Tanjung Papuma tersebut, Atiqah begitu tergiur.
Atiqah sudah kenyang dan sudah pula menyikat gigi di kamar mandi masjid yang berada di belakang masjid tempat berkumpul mereka. Kamar mandi masjid terlihat sepi, gelap, dan luas ketika malam menjemput. Atiqah bergidik bersama temannya, Reni, yang menemaninya. Atiqah dan lainnya tetap menunggu bus datang, energy untuk sekedar bergosip sudah tak ada lagi. Sehingga mereka, kaum hawa memilih untuk merebahkan diri di atas porselen putih tulang bersih, sambil melirik ke arah gerbang. Menanti sebuah kendaraan gendut ber-AC datang lalu mengantar mereka ke dalam mimpi” indah masing-masing.
Belum bisa Atiqah menutup matanya yang merah, akhirnya ia menatapi langit-langit masjid yang terlihat menjulang. Pilar-pilar masjid yang besar dan kokoh menopang atap masjid yang lebar. Di dalamnya, ada sebuah jam digital angka arab yang menggelitik Atiqah untuk memilikinya. Pukul 10.50 WIB, “bus datang, bus datang” teriak salah satu suara lelaki dari mereka. Bak bayi kali pertama terlahir di dunia, mereka semua bersamaan menyunggingkan sebuah senyum diikuti suara kaki menuju arah bus tersebut. Atiqah mengambil kursi ditengah bus ditemani Reni. Atiqah memanglingkan matanya ke pemandangan luar kaca bus yang siap mengantarkannya mengelilingi batas hidup kampusnya. Atiqah mengambil jaketnya, dingin AC menusuknya namun ia bersyukur daripada menaiki bus tidak ber-AC. Bus bermuatan 45 kursi ini diawaki oleh seorang sopir bapak tua dengan kacamatanya dan seorang temannya yang membantu jalannnya wisata ini ikut mengambil perhatian Atiqah, orang itu memiliki rambut lurus panjang dan berkumis. Atiqah tersenyum menatapnya yang sedikit terhalang oleh asap rokoknya yang menggembul.
Malam semakin merayu Atiqah dan teman-teman untuk menawarkan sebuah tidur yang nyenyak. Iringin basmalah sebelum bus ini berangkat segera disusul doa sebelum tidur dari bibir Atiqah. Dunia ketiga milik Atiqah segera menjemputnya, sekalipun hitam dan gelap, Atiqah sangat bersyukur bisa tertidur dan terlahir kembali ke dunia ini. Wajah-wajah keluarganya berkelabatan menghampirinya, rindu semakin menjadi ketika Atiqah merasa jarak akan bertambah jauh dari keluarganya –walau hanya dua hari-.
Atiqah mengedip-ngedipkan matanya, jalan bus terasa bergelombang membangunkan tidurnya yang hitam. Ia menyalakan Hpnya, pukul 01.00 WIB, ia melirik Reni yang daritadi bisa tertidur pulas. kemudian ia membuka gorden bus, mengamati jalan-jalan yang setiap malam ditinggal oleh pemiliknya ke alam yang lain, alam yang juga tak pernah dimengerti seluruhnya oleh pemiliknya. Melewati kampong-kampung sederhana yang diapit oleh sawah-sawah luas, ada beberapa toko dan warung ditengah jalan raya ini yang masih menanti pembeli berkunjung. Maklum, jalan ini memang alur yang dilewati oleh kendaraan-kendaraan luar kota. Sawah-sawah yang masih terlihat hitam ini menyajikan ruang tersendiri bagi Atiqah. Pohon-pohon besar yang begitu banyak membuat aroma lain dipikirannya. Jalan begitu terlihat sama ketika hanya diiringi oleh sepanjang pohon. Bus ini tidak selalu berjalan lurus, seringkali berkelok-kelok mengikuti jalan aspal yang telah diciptakan oleh manusia. Atiqah juga melihat banyak rel kereta api dan tempat kuburan yang dilalui. Ia terus mengeluarkan pandangannya, betapa miris ia ketika melihat bapak-bapak tua di antara becak-becaknya, ada yang tertidur, dan ada yang bercanda dengan teman-temannya. Juga ibu-ibu tua kecil sedang memikul keranjang, entah berjualan apa, mungkin mereka bersiap belanja untuk menjualnya lagi saat matahari sudah memunculkan diri. Atiqah berfikir betapa kerasnya hidup ini bagi mereka. Hidup Atiqah yang saat ini menjadi mahasiswa merupakan nikmat Allah SWT yang sangat besar telah diteguknya hingga membuatnya tampak menjadi seorang kalangan kelas menengah.
Seorang perempuan dengan pakaian lusuh menelungkupkan wajahnya dalam lututnya. Kulitnya terlihat hitam kotor. Disampingnya, belum dapat dipastikan oleh Atiqah berdiri sebuah sepeda yang mengangkut banyak sekali plastic-plastik yang mungkin dinilainya masih bisa menghasilkan rupiah demi rupiah. Perempuan yang terlihat sudah tua itu –entah karena memang usia yang tua atau wajah muka menjadi tua karena hidup terlalu lelah- sangat menikmati tidurnya kali ini. Tanpa bergerak tanpa sandaran, cukup menelungkup wajahnya dalam kedua pahanya yang sedikit lemak itu. Bus tetap berlalu meninggalkan hawa yang melahirkan anak cucu manusia itu. Ingin Atiqah berhenti sekedar memberinya senyuman yang sama seperti senyumannya. Hati Atiqah selalu bertanya kehidupan-kehidupan para jalanan yang. Tak pantaslah ungkapan bahasa yang menyebut mereka sebagai ‘sampah masyarakat’. Perlu kembali direnungkan, apa dan kenapa kemudian siapa yang melahirkan para jalanan tersebut?. Dalam otak Atiqah yang tidak menyukai politik kekuasaan, pemerintahlah yang harus menentukan ke arah mana masyarakatnya dibawa. Atiqah percaya, pemerintah saat ini begitu segan dan hormat pada penguasa industrialis. Tak ingin Atiqah memperpanjang ingatannya terhadap pemerintahan yang begitu acuh pada rakyatnya. Dalam hati Atiqah hanya berdoa untuk keselamatan dan ketenangan hidup bagi para jalanan tersebut.
Malam mengajak mata Atiqah kembali tertidur hingga matahari subuh memantulkan cahayanya dalam kaca-kaca bus.
Atiqah dan teman-teman telah mencicipi tanah Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, lalu Jember. Mereka telah menginjak tanah tujuan mereka di sebuah langgar kecil yang tenang saat subuh. Mereka semua berhamburan keluar bus untuk mencuci muka, menyikat gigi, dan mengambil wudhu. Kemudian dalam diam nan damai, mereka berjumpa pada Sang Khalik. Mereka semua terlahir kembali dihari yang selalu berbeda. Sebentar seusai shalat subuh, mereka meneguk aroma Subuh tanah Jember yang dikelilingi oleh pohon-pohon besar. Kemudian mereka kembali memasuki bus dan melakukan perjalanan dengan muka yang telah memiliki semangat hidup kembali. Menjemput Pantai Tanjung Papuma yang terhampar warna hijau sejauh mata memandang. Pantai ini terletak di desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember, sekitar 37 km dari pusat Kota Jember. Kata Papuma singkatan dari Pantai Pasir Putih Malikan, pantai ini terkenal dengan pasir berwarna putih dengan kerikil dan ombak yang besar yang siap menerjang.
I could make you happy, make your dreams come true
Nothing that I wouldn’t do
 Go to the end of earth for you
To make you feel my love, To make you feel my love
Lagu Adele - make you feel my love yang slow and smooth mengiringi perjalanan Atiqah masuk ke sebuah area pegunungan mendekati pantai tujuan mereka. Melewati sawah-sawah padi yang luas, perkebunan jagung dan singkong, juga sebidang tanah populasi pohon jati meranggas. “bulan ini kemarau, jadi daun jati meranggas menggugurkan daun-daunnya untuk mengurangi penguapan” terang Reni setelah mendengar decak kagum Atiqah pada jati-jati tersebut. Kami melewati tumbuhan jagung yang berkumpul. Atiqah melirik pada calon-calon jagung yang masih berbulu cokelat. Hingga akhirnya bus mereka parkir di kawasan masuk Pantai Tanjung papuma, karena jalan masuk ke pantai itu sempit dan menanjak. Pantai Tanjung Papuma berada dibawah dataran tinggi. Mereka semua turun dan memilih berjalan kaki untuk sampai ke pantai itu meskipun ada jasa ojek yang menunggu didaerah tersebut. Perjalanan kaki yang lumayan jauh dengan dataran tanah yang naik turun dilalui oleh mereka dengan keringat yang tulus. Keringat yang lelah namun bersemangat agar bisa sampai di pantai itu. Mereka juga disapa oleh monyet-monyet hitam yang bergelantungan diantara pohon.
Khayalan mereka benar, setelah hijau yang terhampar di depan mata mereka, sekarang giliran biru yang membiru terbentuk disetiap pupil-pupil yang memandang. Kami terhenyak, melangkah sigap masuk mendekati air pantai itu. Vihara kuning dan merah sedikit memaksa mereka untuk berfikir, kenapa di sini ada vihara?. Atiqah berhenti sesaat, memandang jauh ke angkasa di atas air yang sama-sama biru itu. Inilah gambaran secuil surga Ombak terlihat besar dan tegas menantang manusia-manusia yang berlarian disekitarnya, melebihi ombak di pantai Parangtritis Yogjakarta. Disisi lain, terdapat sebongkah batu yang besar yang terlihat saling adu bersma ombak. Juga karang-karang yang tinggi dan luas memberi suara ombak yang menerjang karang dan kembali. di dekatnya, ada sebuah gua yang tidak mereka kunjungi. Segerombol teman-teman lain dengan cepat berfoto ria sambil membentang bendera organisasi kami, Solidaritas. Solidaritas merupakan organisasi mahasiswa kampus bidang jurnalistik yang di dalamnya mereka semua belajar dan berproses untuk menjadi individu yang lebih berguna bagi orang banyak. Atiqah menarik Reni untuk ikut menegakkan kepalanya dalam rekaman pocket milik seniornya.
Mahasiswa laki-laki terlihat dengan cepat berganti pakaian pendek dan menikmati desiran ombak yang tergulung. Mahasiswi seberapa menit berfikir untuk ikut berbasah-basahan atau tidak. Atiqah tergiur oleh suara air yang berdesir juga pasir cokelat lembut yang terinjaknya. Namun belum ada perempuan yang memulai melakukan basah-basahan itu. Atiqahpun hanya memotret-motret salah satu kebesaran Allah SWT yang membuktikan keberadaan-NYA. Manusia-manusia begitu kecil dan lemah ketika dihadapkan oleh hamparan biru ini. Perahu-perahu lumayan besar terlihat ditengah pantai ikut bergoyang menikmati angin yang menyeretnya dalam ombak.
Tak berapa lama, lelah memotret menggunakan mesin. Atiqah melihat dua seniornya, Anifa dan Sandra menikmati sapaan air berbalut pasir dalam ombak. Mereka duduk tenang dibibir pantai kemudian terangkat dan terseret oleh ombak, diikuti gelak tawa dan teriakan bahagia. Secepat bumi berotasi, mahasiswi lain meniru gaya mereka sambil erat memegangi tali raffia yang memang dibuat untuk menopang diri manusia agar tidak terseret ombak ke dalam air. Atiqahpun menyadari betapa rindunya ia dengan air tanpa kran ini. Atiqah dan Reni ikut duduk dibibir pasir sambil memegangi tali dan berharap ombak itu segera meneranya, mengangkat dan menyeretnya. Air pantai selalu asin dan perih jika terkena mata. Gesekan tali ini juga begitu sakit karena tak mampu menopang tubuh mereka yang berpuluh-puluh kilogram. Namun mereka tertawa, menikmati keajaiban alam. Ombak begitu tenang menyapa mereka tapi mereka semua berteriak dan tertawa seperti kanak-kanak. Saling menyeret badan atau pakaian-pakaian kami. Tak dapat dielak mereka sadar akan kebersamaan mereka yang indah bila tertawa sekalipun perih dan kotor yang diterima. Pasir melilit dalam tubuh mereka, mahasiswa laki-laki bermain lempar pasir dan juga ke mahasiswi. Mahasiswi merasa jengkel karena pasir membuat mata sakit dan kotor, tapi mereka tak dapat mengelak apalagi marah. Mereka kembali tertawa bersama ombak, biru, putih, asin, pasir, dan perih.
Atiqah memandangi pengunjung lainnya, ada yang menggunakan seragam seperti dirinya bersama organisasi, ada juga yang sepasang, dan ada yang bersama keluarga. Atiqah kemudian teringat pada tawa keluarganya. Ingin sekali Atiqah pergi ke tempat ini bersama anggota keluarganya. Mungkin, kakaknya akan berfoto, dan adik-adiknya akan berlarian mengejar ombak, sementara orangtuanya akan berteriak untuk berhati-hati atau jangan ketengah pantai. Atiqah kembali tersenyum seraya berdoa pada Sang Pengabul.
Yeni, teman Atiqah mendadak meminta pertolongan karena merasa tidak punya tenaga untuk bangun dan keluar dari air. Matanya merah tak mampu berkata, Atiqahpun membopong bersama Hari ke pasir pantai yang tinggi. Yeni terlalu tenggelam tadi, sehingga airnya masuk ke dalam tubuhnya. Untung saja Yeni tidak mengalami apa-apa. Setelah itu, Atiqah dan yang lain masih bisa melihat senyum Yeni yang manis.
Mereka semua telah berbusana pasir, dari muka hingga kaki. Mereka tak tampak cantik dan tampan namun aura bahagia tercipta dalam garis-garis wajah mereka. Garis wajah mereka yang menjadi kanak-kanak, polos, dan lepas. Pantai Tanjung Papuma merupaka aset besar yang dimiliki oleh Kota Jember. Sangat diharakan oleh Atiqah dan teman-temannya agar pemerintah Jember merawat dan terus membangun fasilitas yang masih kurang di sana seperti perbaikan jalan yang berbahaya jika dilalui oleh kendaraan roda empat.
Setelah mengantri cukup lama di tempat pemandian, mereka melanjutkan perjalanan untuk sarapan dan pulang. Ada beberapa mahasiswa yang tidak kuat berjalan kaki sehingga memakai jasa ojek untuk sampai ke tempat bus terparkir. Ada juga yang memilih berjalan kaki karena merasa kuat, ingin tantangan, atau tidak punya uang untuk memakai jasa ojek. Atiqah dan Renipun memilih setia berbagi injakan dengan tanah Jember. Apapun bagi mereka, mereka telah sama dan bersama.
Bus telah menyalakan mesinnya. Lelaki berambut gondrong segera melihat sekitar untuk memberi aba-aba aman pada sopir bus berputar haluan. Mereka tertawa, bercerita, dan mengeluh karena lapar. Beberapa jam mereka semua tertidur karena kantuk hari kemarin yang belum terbayar. Hingga adzan duhur berkumandang, bus berhenti dan menemukan Warung Makanan. Mereka tak sabar menikmati hak perut sarapan mereka sekalipun terbayar dalam makan siang mereka. Hidangan ayam goreng lalapan atau bebek goreng lalapan hangat disantap dengan lahap. Tulang ayam atau bebek diam-diam dihisap lembut oleh Atiqah. Kemudian es jeruk segar perlahan menyegarkan tenggorokan mereka saat terik siang matahari menyapa.
Rencana Hari sebagai pemandu kegiatan ini adalah mengunjungi telaga biru di Pasuruan. Namun terganti oleh tatapan mereka, anak buahnya, pada sepanjang jalan yang dipenuhi oleh toko-toko sedang memamerkan jajanan-jajanan khas daerah mereka di Kota Probolinggo. Selain itu, bumi telah menunjukkan sore hari yang akan segera diisi oleh bulan, untuk mempersingkat waktu maka Hari memutuskan tidak jadi mengunjungi ke Telaga Biru karena sudah tutup. Hari mengganti harapan mereka di Telaga Biru dengan sejumlah rupiah dua puluh ribu untuk dibelanjakan di toko-toko tersebut. Tak hanya bagi mereka, namun juga bagi Bapak sopir yang dengan sabar mendengar celotehan mereka semua dan lelaki berambut panjang yang dalam imajinasi Atiqah akan selalu bergoyang di acara musik genre rock. Kesekian kalinya, Atiqah melompat riang untuk berbaur bersama teman-temannya menikmati jajanan khas yang nikmat. Atiqah sangat menyukai kegiatan ini, karena ia menyukai rasa manis yang melumer menjadi satu bersama kelapa. Ia pun memilih suwar suwir kelapa, dodol, dan geblak –kelapa manis warna-warni seperti jajanan khas Yogjakarta-, dan menunduk sedih melihati Sale pisang yang gagal ia beli. Atiqah naik ke dalam bus sambil melihati raut muka dua lelaki pekerja bus ini, dalam garis wajahnya tampak bahagia bisa membawa sebungkus plastic untuk anaknya. Atiqahpun kembali terbayang wajah adiknya yang kecil dan manja. Sekalipun ia tahu, adikknya tidak menyukai rasa manis yang berlebihan pada jajan yang ia beli.
Rasa kantuk Atiqah dan Reni sedikit memudar, kemudian mereka menikmati paronama alam yang dihadirkan gratis. Hijau sungguh dominan dalam tangkapan retina mata mereka. Manusia-manusia berbagai ekspresi mereka tangkap seraya beberapa detik untuk memikirkan mereka. Reni bekata pada Atiqah, “banyak kuburan ya ?”. “iya, mungkin udah budayanya orang sini kuburan ada dipinggir jalan, hehe” sekena Atiqah menjawab. Anggukan kecil tanda setuju terlihat dalam wajah mereka. Kemudian bersama menghitung berapa kuburan yang telah mereka temui. Kali ini, Atiqah tidak ingin membicarakan kuburan seperti apa yang pas untukknya kelak. Biarlah, keindahan hari ini membentuk harmoni dalam otaknya. Tiba-tiba Aktor terkenal di Indonesia, Nicholas Saputra menghampiri diri Atiqah. Dengan mata sipitnya yang tajam dan hidungnya yang bangir membuat Atiqah sadar bahwa ia kembali dalam keajaiban tidur.
Adzan Magrib dan Isya telah dilalui namun belum dikerjakan. Sekitar pukul 19.45 WIB, bus pariwisata ini menginjak tanah Kota Pahlawan. Atiqah dan teman-teman telah sampai ke tempat pristirahatan masing-masing. Dengan hamdalah dan salam , mereka berpisah. Sekalipun hanya tiga jam berada di Pantai Tanjung Papuma namun kenangan hijau bak jamrud dan biru bak rubi yang terekam tak mudah dihapus. Ingatan mereka menjadi manusia pasir merupakan nikmat tersendiri yang takkan terlupa. J
Atiqah melewati kampongnya menuju kosannya yang tenang. Sambil menahan rasa lelah dan lapar, atiqah tersenyum mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kemudian ia merogoh handphone yang tergantung tokoh anime Doraemon dan menunggu pesan singkat dari temannya Fian muncul, yang mungkin akan berbunyi, “Atiqah, gimana pantainya ? J”.
aku membayangkan surga ada di depanku, depan mataku
saat aku nikmati wajahmu, indah hatimu
tak jemu-jemu kupandang begitu elok kau tercipta
tak pernah henti-hentinyaku, terus mencintai dirimu
tak pernah henti-hentinyaku, tetap menyayangi dirimu
(Padi – Elok)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar