Lagu Elok dari Padi berdering menggetarkan
Hp Nokia Atiqah, pesan masuk, “Atiqah, lagi ngapain?” dari temannya, Fian.
“lagi nungguin bus, sama temen”
mau ke jember, busnya belum datang nih L bete. Kita mau ke pantai
Papuma-Jember, hehe. Pernah dengar nda ?” ketik Atiqah seraya menekan tombol
‘send’.
“wah, kerrenn banget tuh pantai
qah, aku diceritain ma banyak temen”ku, aku pernah ngerencanain bareng temen”
kesana juga tapi belum kesampean, J senengnya, ngiri nih :p” jawabnya.
Atiqah tersenyum, berkhayal
sebuah pantai bergelut ombak.
Pukul 10.00 WIB bus juga tak
segera menampakkan badannya. Atiqah dan teman-teman lainnya berdecak kesal,
sudah mulai pukul 08.00 WIB mereka menunggu bus itu. Atiqah bosan, dan segera
bertanya pada ketua pelaksana kegiatan ini, sekalipun Atiqah tahu ini adalah
acara gratis –yang seharusnya tidak perlu banyak komentar-. Hari, ketua pelaksana
menjawab bahwa angkutan darat besar itu sedang otw ke kampus, “dari Amerika busnya” ujar salah satu pantia
bercanda. Atiqah menjawab dengan senyum kecut. Lelah seharian berada di luar
kasurnya yang empuk. Sebelumnya, tadi pagi sampai magrib, Atiqah dan teman-teman
mengikuti rapat kerja majalah yang akan diterbitkan sebulan lagi. Kegiatan
jalan-jalan ini dilakukan untuk menyegarkan pikiran kembali dan memberi
inspirasi yang segar lagi. Sesegar khayalannya tentang Pantai Tanjung Papuma
tersebut, Atiqah begitu tergiur.
Atiqah sudah kenyang dan sudah
pula menyikat gigi di kamar mandi masjid yang berada di belakang masjid tempat
berkumpul mereka. Kamar mandi masjid terlihat sepi, gelap, dan luas ketika
malam menjemput. Atiqah bergidik bersama temannya, Reni, yang menemaninya.
Atiqah dan lainnya tetap menunggu bus datang, energy untuk sekedar bergosip
sudah tak ada lagi. Sehingga mereka, kaum hawa memilih untuk merebahkan diri di
atas porselen putih tulang bersih, sambil melirik ke arah gerbang. Menanti
sebuah kendaraan gendut ber-AC datang lalu mengantar mereka ke dalam mimpi”
indah masing-masing.
Belum bisa Atiqah menutup matanya
yang merah, akhirnya ia menatapi langit-langit masjid yang terlihat menjulang.
Pilar-pilar masjid yang besar dan kokoh menopang atap masjid yang lebar. Di
dalamnya, ada sebuah jam digital angka arab yang menggelitik Atiqah untuk
memilikinya. Pukul 10.50 WIB, “bus datang, bus datang” teriak salah satu suara
lelaki dari mereka. Bak bayi kali pertama terlahir di dunia, mereka semua
bersamaan menyunggingkan sebuah senyum diikuti suara kaki menuju arah bus
tersebut. Atiqah mengambil kursi ditengah bus ditemani Reni. Atiqah
memanglingkan matanya ke pemandangan luar kaca bus yang siap mengantarkannya
mengelilingi batas hidup kampusnya. Atiqah mengambil jaketnya, dingin AC
menusuknya namun ia bersyukur daripada menaiki bus tidak ber-AC. Bus bermuatan
45 kursi ini diawaki oleh seorang sopir bapak tua dengan kacamatanya dan
seorang temannya yang membantu jalannnya wisata ini ikut mengambil perhatian Atiqah,
orang itu memiliki rambut lurus panjang dan berkumis. Atiqah tersenyum
menatapnya yang sedikit terhalang oleh asap rokoknya yang menggembul.
Malam semakin merayu Atiqah dan
teman-teman untuk menawarkan sebuah tidur yang nyenyak. Iringin basmalah sebelum
bus ini berangkat segera disusul doa sebelum tidur dari bibir Atiqah. Dunia
ketiga milik Atiqah segera menjemputnya, sekalipun hitam dan gelap, Atiqah
sangat bersyukur bisa tertidur dan terlahir kembali ke dunia ini. Wajah-wajah
keluarganya berkelabatan menghampirinya, rindu semakin menjadi ketika Atiqah merasa
jarak akan bertambah jauh dari keluarganya –walau hanya dua hari-.
Atiqah mengedip-ngedipkan
matanya, jalan bus terasa bergelombang membangunkan tidurnya yang hitam. Ia
menyalakan Hpnya, pukul 01.00 WIB, ia melirik Reni yang daritadi bisa tertidur
pulas. kemudian ia membuka gorden bus, mengamati jalan-jalan yang setiap malam
ditinggal oleh pemiliknya ke alam yang lain, alam yang juga tak pernah
dimengerti seluruhnya oleh pemiliknya. Melewati kampong-kampung sederhana yang
diapit oleh sawah-sawah luas, ada beberapa toko dan warung ditengah jalan raya
ini yang masih menanti pembeli berkunjung. Maklum, jalan ini memang alur yang
dilewati oleh kendaraan-kendaraan luar kota. Sawah-sawah yang masih terlihat
hitam ini menyajikan ruang tersendiri bagi Atiqah. Pohon-pohon besar yang begitu
banyak membuat aroma lain dipikirannya. Jalan begitu terlihat sama ketika hanya
diiringi oleh sepanjang pohon. Bus ini tidak selalu berjalan lurus, seringkali
berkelok-kelok mengikuti jalan aspal yang telah diciptakan oleh manusia. Atiqah
juga melihat banyak rel kereta api dan tempat kuburan yang dilalui. Ia terus
mengeluarkan pandangannya, betapa miris ia ketika melihat bapak-bapak tua di
antara becak-becaknya, ada yang tertidur, dan ada yang bercanda dengan
teman-temannya. Juga ibu-ibu tua kecil sedang memikul keranjang, entah
berjualan apa, mungkin mereka bersiap belanja untuk menjualnya lagi saat
matahari sudah memunculkan diri. Atiqah berfikir betapa kerasnya hidup ini bagi
mereka. Hidup Atiqah yang saat ini menjadi mahasiswa merupakan nikmat Allah SWT
yang sangat besar telah diteguknya hingga membuatnya tampak menjadi seorang
kalangan kelas menengah.
Seorang perempuan dengan pakaian
lusuh menelungkupkan wajahnya dalam lututnya. Kulitnya terlihat hitam kotor.
Disampingnya, belum dapat dipastikan oleh Atiqah berdiri sebuah sepeda yang
mengangkut banyak sekali plastic-plastik yang mungkin dinilainya masih bisa
menghasilkan rupiah demi rupiah. Perempuan yang terlihat sudah tua itu –entah karena
memang usia yang tua atau wajah muka menjadi tua karena hidup terlalu lelah-
sangat menikmati tidurnya kali ini. Tanpa bergerak tanpa sandaran, cukup
menelungkup wajahnya dalam kedua pahanya yang sedikit lemak itu. Bus tetap
berlalu meninggalkan hawa yang melahirkan anak cucu manusia itu. Ingin Atiqah
berhenti sekedar memberinya senyuman yang sama seperti senyumannya. Hati Atiqah
selalu bertanya kehidupan-kehidupan para jalanan yang. Tak pantaslah ungkapan
bahasa yang menyebut mereka sebagai ‘sampah masyarakat’. Perlu kembali
direnungkan, apa dan kenapa kemudian siapa yang melahirkan para jalanan
tersebut?. Dalam otak Atiqah yang tidak menyukai politik kekuasaan,
pemerintahlah yang harus menentukan ke arah mana masyarakatnya dibawa. Atiqah
percaya, pemerintah saat ini begitu segan dan hormat pada penguasa
industrialis. Tak ingin Atiqah memperpanjang ingatannya terhadap pemerintahan yang
begitu acuh pada rakyatnya. Dalam hati Atiqah hanya berdoa untuk keselamatan
dan ketenangan hidup bagi para jalanan tersebut.
Malam mengajak mata Atiqah
kembali tertidur hingga matahari subuh memantulkan cahayanya dalam kaca-kaca
bus.
Atiqah dan teman-teman telah
mencicipi tanah Sidoarjo, Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, lalu Jember. Mereka
telah menginjak tanah tujuan mereka di sebuah langgar kecil yang tenang saat
subuh. Mereka semua berhamburan keluar bus untuk mencuci muka, menyikat gigi,
dan mengambil wudhu. Kemudian dalam diam nan damai, mereka berjumpa pada Sang
Khalik. Mereka semua terlahir kembali dihari yang selalu berbeda. Sebentar
seusai shalat subuh, mereka meneguk aroma Subuh tanah Jember yang dikelilingi
oleh pohon-pohon besar. Kemudian mereka kembali memasuki bus dan melakukan
perjalanan dengan muka yang telah memiliki semangat hidup kembali. Menjemput
Pantai Tanjung Papuma yang terhampar warna hijau sejauh mata memandang. Pantai
ini terletak di desa Sumberejo Kecamatan Ambulu Kabupaten Jember, sekitar 37 km
dari pusat Kota Jember. Kata Papuma singkatan dari Pantai Pasir Putih Malikan,
pantai ini terkenal dengan pasir berwarna putih dengan kerikil dan ombak yang
besar yang siap menerjang.
I
could make you happy, make your dreams come true
Nothing
that I wouldn’t do
Go to the end of earth for you
To
make you feel my love, To make you feel my love
Lagu Adele - make you feel my
love yang slow and smooth mengiringi
perjalanan Atiqah masuk ke sebuah area pegunungan mendekati pantai tujuan
mereka. Melewati sawah-sawah padi yang luas, perkebunan jagung dan singkong,
juga sebidang tanah populasi pohon jati meranggas. “bulan ini kemarau, jadi
daun jati meranggas menggugurkan daun-daunnya untuk mengurangi penguapan”
terang Reni setelah mendengar decak kagum Atiqah pada jati-jati tersebut. Kami
melewati tumbuhan jagung yang berkumpul. Atiqah melirik pada calon-calon jagung
yang masih berbulu cokelat. Hingga akhirnya bus mereka parkir di kawasan masuk Pantai Tanjung papuma, karena jalan masuk
ke pantai itu sempit dan menanjak. Pantai Tanjung Papuma berada dibawah dataran
tinggi. Mereka semua turun dan memilih berjalan kaki untuk sampai ke pantai itu
meskipun ada jasa ojek yang menunggu didaerah tersebut. Perjalanan kaki yang
lumayan jauh dengan dataran tanah yang naik turun dilalui oleh mereka dengan
keringat yang tulus. Keringat yang lelah namun bersemangat agar bisa sampai di
pantai itu. Mereka juga disapa oleh monyet-monyet hitam yang bergelantungan
diantara pohon.
Khayalan mereka benar, setelah
hijau yang terhampar di depan mata mereka, sekarang giliran biru yang membiru
terbentuk disetiap pupil-pupil yang memandang. Kami terhenyak, melangkah sigap
masuk mendekati air pantai itu. Vihara kuning dan merah sedikit memaksa mereka
untuk berfikir, kenapa di sini ada vihara?. Atiqah berhenti sesaat, memandang
jauh ke angkasa di atas air yang sama-sama biru itu. Inilah gambaran secuil
surga Ombak terlihat besar dan tegas menantang manusia-manusia yang berlarian
disekitarnya, melebihi ombak di pantai Parangtritis Yogjakarta. Disisi lain,
terdapat sebongkah batu yang besar yang terlihat saling adu bersma ombak. Juga
karang-karang yang tinggi dan luas memberi suara ombak yang menerjang karang
dan kembali. di dekatnya, ada sebuah gua yang tidak mereka kunjungi. Segerombol
teman-teman lain dengan cepat berfoto ria sambil membentang bendera organisasi
kami, Solidaritas. Solidaritas merupakan organisasi mahasiswa kampus bidang
jurnalistik yang di dalamnya mereka semua belajar dan berproses untuk menjadi
individu yang lebih berguna bagi orang banyak. Atiqah menarik Reni untuk ikut
menegakkan kepalanya dalam rekaman pocket
milik seniornya.
Mahasiswa laki-laki terlihat
dengan cepat berganti pakaian pendek dan menikmati desiran ombak yang
tergulung. Mahasiswi seberapa menit berfikir untuk ikut berbasah-basahan atau
tidak. Atiqah tergiur oleh suara air yang berdesir juga pasir cokelat lembut
yang terinjaknya. Namun belum ada perempuan yang memulai melakukan
basah-basahan itu. Atiqahpun hanya memotret-motret salah satu kebesaran Allah
SWT yang membuktikan keberadaan-NYA. Manusia-manusia begitu kecil dan lemah
ketika dihadapkan oleh hamparan biru ini. Perahu-perahu lumayan besar terlihat
ditengah pantai ikut bergoyang menikmati angin yang menyeretnya dalam ombak.
Tak berapa lama, lelah memotret
menggunakan mesin. Atiqah melihat dua seniornya, Anifa dan Sandra menikmati
sapaan air berbalut pasir dalam ombak. Mereka duduk tenang dibibir pantai
kemudian terangkat dan terseret oleh ombak, diikuti gelak tawa dan teriakan
bahagia. Secepat bumi berotasi, mahasiswi lain meniru gaya mereka sambil erat
memegangi tali raffia yang memang dibuat untuk menopang diri manusia agar tidak
terseret ombak ke dalam air. Atiqahpun menyadari betapa rindunya ia dengan air
tanpa kran ini. Atiqah dan Reni ikut duduk dibibir pasir sambil memegangi tali
dan berharap ombak itu segera meneranya, mengangkat dan menyeretnya. Air pantai
selalu asin dan perih jika terkena mata. Gesekan tali ini juga begitu sakit
karena tak mampu menopang tubuh mereka yang berpuluh-puluh kilogram. Namun
mereka tertawa, menikmati keajaiban alam. Ombak begitu tenang menyapa mereka
tapi mereka semua berteriak dan tertawa seperti kanak-kanak. Saling menyeret
badan atau pakaian-pakaian kami. Tak dapat dielak mereka sadar akan kebersamaan
mereka yang indah bila tertawa sekalipun perih dan kotor yang diterima. Pasir
melilit dalam tubuh mereka, mahasiswa laki-laki bermain lempar pasir dan juga
ke mahasiswi. Mahasiswi merasa jengkel karena pasir membuat mata sakit dan
kotor, tapi mereka tak dapat mengelak apalagi marah. Mereka kembali tertawa bersama
ombak, biru, putih, asin, pasir, dan perih.
Atiqah memandangi pengunjung
lainnya, ada yang menggunakan seragam seperti dirinya bersama organisasi, ada
juga yang sepasang, dan ada yang bersama keluarga. Atiqah kemudian teringat
pada tawa keluarganya. Ingin sekali Atiqah pergi ke tempat ini bersama anggota
keluarganya. Mungkin, kakaknya akan berfoto, dan adik-adiknya akan berlarian
mengejar ombak, sementara orangtuanya akan berteriak untuk berhati-hati atau
jangan ketengah pantai. Atiqah kembali tersenyum seraya berdoa pada Sang
Pengabul.
Yeni, teman Atiqah mendadak
meminta pertolongan karena merasa tidak punya tenaga untuk bangun dan keluar
dari air. Matanya merah tak mampu berkata, Atiqahpun membopong bersama Hari ke
pasir pantai yang tinggi. Yeni terlalu tenggelam tadi, sehingga airnya masuk ke
dalam tubuhnya. Untung saja Yeni tidak mengalami apa-apa. Setelah itu, Atiqah
dan yang lain masih bisa melihat senyum Yeni yang manis.
Mereka semua telah berbusana
pasir, dari muka hingga kaki. Mereka tak tampak cantik dan tampan namun aura
bahagia tercipta dalam garis-garis wajah mereka. Garis wajah mereka yang
menjadi kanak-kanak, polos, dan lepas. Pantai Tanjung Papuma merupaka aset
besar yang dimiliki oleh Kota Jember. Sangat diharakan oleh Atiqah dan
teman-temannya agar pemerintah Jember merawat dan terus membangun fasilitas
yang masih kurang di sana seperti perbaikan jalan yang berbahaya jika dilalui
oleh kendaraan roda empat.
Setelah mengantri cukup lama di
tempat pemandian, mereka melanjutkan perjalanan untuk sarapan dan pulang. Ada beberapa
mahasiswa yang tidak kuat berjalan kaki sehingga memakai jasa ojek untuk sampai
ke tempat bus terparkir. Ada juga
yang memilih berjalan kaki karena merasa kuat, ingin tantangan, atau tidak
punya uang untuk memakai jasa ojek. Atiqah dan Renipun memilih setia berbagi
injakan dengan tanah Jember. Apapun bagi mereka, mereka telah sama dan bersama.
Bus telah menyalakan mesinnya.
Lelaki berambut gondrong segera melihat sekitar untuk memberi aba-aba aman pada
sopir bus berputar haluan. Mereka tertawa, bercerita, dan mengeluh karena
lapar. Beberapa jam mereka semua tertidur karena kantuk hari kemarin yang belum
terbayar. Hingga adzan duhur berkumandang, bus berhenti dan menemukan Warung
Makanan. Mereka tak sabar menikmati hak perut sarapan mereka sekalipun terbayar
dalam makan siang mereka. Hidangan ayam goreng lalapan atau bebek goreng
lalapan hangat disantap dengan lahap. Tulang ayam atau bebek diam-diam dihisap
lembut oleh Atiqah. Kemudian es jeruk segar perlahan menyegarkan tenggorokan
mereka saat terik siang matahari menyapa.
Rencana Hari sebagai pemandu
kegiatan ini adalah mengunjungi telaga biru di Pasuruan. Namun terganti oleh
tatapan mereka, anak buahnya, pada sepanjang jalan yang dipenuhi oleh toko-toko
sedang memamerkan jajanan-jajanan khas daerah mereka di Kota Probolinggo.
Selain itu, bumi telah menunjukkan sore hari yang akan segera diisi oleh bulan,
untuk mempersingkat waktu maka Hari memutuskan tidak jadi mengunjungi ke Telaga
Biru karena sudah tutup. Hari mengganti harapan mereka di Telaga Biru dengan sejumlah
rupiah dua puluh ribu untuk dibelanjakan di toko-toko tersebut. Tak hanya bagi
mereka, namun juga bagi Bapak sopir yang dengan sabar mendengar celotehan mereka
semua dan lelaki berambut panjang yang dalam imajinasi Atiqah akan selalu
bergoyang di acara musik genre rock. Kesekian
kalinya, Atiqah melompat riang untuk berbaur bersama teman-temannya menikmati
jajanan khas yang nikmat. Atiqah sangat menyukai kegiatan ini, karena ia
menyukai rasa manis yang melumer menjadi satu bersama kelapa. Ia pun memilih
suwar suwir kelapa, dodol, dan geblak –kelapa manis warna-warni seperti jajanan
khas Yogjakarta-, dan menunduk sedih melihati Sale pisang yang gagal ia beli.
Atiqah naik ke dalam bus sambil melihati raut muka dua lelaki pekerja bus ini,
dalam garis wajahnya tampak bahagia bisa membawa sebungkus plastic untuk anaknya.
Atiqahpun kembali terbayang wajah adiknya yang kecil dan manja. Sekalipun ia
tahu, adikknya tidak menyukai rasa manis yang berlebihan pada jajan yang ia
beli.
Rasa kantuk Atiqah dan Reni
sedikit memudar, kemudian mereka menikmati paronama alam yang dihadirkan
gratis. Hijau sungguh dominan dalam tangkapan retina mata mereka.
Manusia-manusia berbagai ekspresi mereka tangkap seraya beberapa detik untuk
memikirkan mereka. Reni bekata pada Atiqah, “banyak kuburan ya ?”. “iya,
mungkin udah budayanya orang sini kuburan ada dipinggir jalan, hehe” sekena
Atiqah menjawab. Anggukan kecil tanda setuju terlihat dalam wajah mereka.
Kemudian bersama menghitung berapa kuburan yang telah mereka temui. Kali ini,
Atiqah tidak ingin membicarakan kuburan seperti apa yang pas untukknya kelak.
Biarlah, keindahan hari ini membentuk harmoni dalam otaknya. Tiba-tiba Aktor
terkenal di Indonesia, Nicholas Saputra menghampiri diri Atiqah. Dengan mata
sipitnya yang tajam dan hidungnya yang bangir membuat Atiqah sadar bahwa ia
kembali dalam keajaiban tidur.
Adzan Magrib dan Isya telah
dilalui namun belum dikerjakan. Sekitar pukul 19.45 WIB, bus pariwisata ini menginjak
tanah Kota Pahlawan. Atiqah dan teman-teman telah sampai ke tempat
pristirahatan masing-masing. Dengan hamdalah dan salam , mereka berpisah.
Sekalipun hanya tiga jam berada di Pantai Tanjung Papuma namun kenangan hijau bak
jamrud dan biru bak rubi yang terekam tak mudah dihapus. Ingatan mereka menjadi
manusia pasir merupakan nikmat tersendiri yang takkan terlupa. J
Atiqah melewati kampongnya menuju
kosannya yang tenang. Sambil menahan rasa lelah dan lapar, atiqah tersenyum
mengingat kejadian beberapa jam yang lalu. Kemudian ia merogoh handphone yang tergantung tokoh anime Doraemon dan menunggu pesan singkat dari
temannya Fian muncul, yang mungkin akan berbunyi, “Atiqah, gimana pantainya ? J”.
aku
membayangkan surga ada di depanku, depan mataku
saat
aku nikmati wajahmu, indah hatimu
tak
jemu-jemu kupandang begitu elok kau tercipta
tak
pernah henti-hentinyaku, terus mencintai dirimu
tak
pernah henti-hentinyaku, tetap menyayangi dirimu
(Padi – Elok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar