Ia
terbangun dari tidurnya, sebentar menggeliat dalam tumpukan jerami, kemudian
menatap ke atas. Ia tersenyum, menengadahkan kepalanya seraya menghirup aroma
dari pancarannya. Matahari, cintanya, menyapanya lagi, membuat ia lupa kejadian
kemarin. Ia memandangi cintanya dengan tetap tersenyum, ia sangat percaya
cintanya juga mencintainya. Cintanya selalu membangunkannya di waktu yang sama.
Cintanya selalu membuat tubuhnya segar dan sehat. Cintanya telah memperlihatkan
dunia kepadanya. Cintanya selalu membanjirinya sapaan hangat nan lembut. Tiada
yang lain, yang lebih dicintainya melebihi cintanya pada Cintanya.
Cintanya
kini pelan-pelan mengangkasa, membuat cahaya semakin kuat. Dengan tersenyum, ia
berbisik pada Cintanya, ‘Kau cemburu, sayang ?’ . Ia kembali pada
fokusnya, memotong kayu, membersihkannya, membuat kayu-kayu itu dapat
dipertukarkan dengan kebutuhannya. Cintanya tetap berada di atas lelaki itu,
setia menemaninya mengolah kayu. Dengan teriknya, Cintanya menghujani nikmat
yang sangat disukai oleh lelaki itu. Lelaki itu terus menebang, memotong, dan
menghaluskan kayu-kayu, jika lelah ia duduk di bawah pohon-pohon seraya berucap
pada Cintanya. Menceritakan betapa lelahnya ia ketika memotong gulungan kayu
itu atau menebang pohon tinggi itu dengan gergaji. Ia juga memperlihatkan pada Cintanya
akan otot-otot kekarnya dengan bangga. Jeda, ia meneguk air, lalu meletakkannya
kembali gelas air dengan terbuka, ia percaya Cintanya akan menghangatkan air
itu.
Lelah
seharian, biasanya ia tertidur di saat Cintanya menatapnya dengan malu-malu,
jingga. Ia terus memandang Cintanya yang kini berubah lebih tenang. Ia tak
pernah melihat hari tanpa Cintanya. Ia kemudian tersentak untuk ingin tahu,
kemana Cintanya setelah berubah menjadi jingga. Tak pernah ia merasakan seperti
detik ini, lelaki ini gusar dan gelisah. Apakah Cintanya benar-benar selalu
menemaninya ? apakah Cintanya akan selalu menyapanya ? apakah Cintanya benar-benar
juga mencintainya ?. Ia kembali duduk dari rebahannya, ia berjanji tidak akan
tertidur pada detik itu. Dengan keras ia melawan semua kantuk dan lelahnya. Ia
terus menjawab pada hatinya, bahwa Cintanya jelas selalu dan akan selalu
menemaninya. Ia terus mengingat kebaikan-kebaikan Cintanya yang selalu
menyapanya ketika ia terbangun, yang slalu menemaninya bekerja, yang selalu
menyelimuti dirinya ketika tertidur dengan hangat.
Berkali-kali
lelaki itu menguap, ia terus memandang angkasa, tempat Cintanya berada. Tak
lepas sedetikpun dari pandangannya. Pelan-pelan ia melihat mata Cintanya berwarna
jingga, sangat lembut. Diujung sana, ia terus memandangi mata Cintanya yang
anggun menarik diri, seolah hendak bersembunyi. Detik demi detik berganti,
lelaki itu duduk dengan gelisah. Sepertinya apa yang ditakutkan akan datang.
Cintanya tak selalu menemaninya, Cintanya tak selalu melihatnya, Cintanya tak
benar-benar mencintainya. Lelaki itu merasa tertampar, dadanya sesak melihat Cintanya
meninggalkannya entah kemana. Benar saja, detik ini angkasa berganti menjadi
hitam, gelap, kekurangan cahaya. Ia tak bisa melihat apa-apa di sekelilingnya,
ini kali pertama. Ia terisak, menangis, tak mempercayai bahwa Cintanya pergi
meninggalkannya. Tangisnya semakin hebat, hingga ia merasakan tubuhnya tak
dirasai lagi. Ia telah terbang ke alam yang lain.
--
Cintanya
seolah meminta maaf padanya, menerpa dengan teriknya hingga lelaki itu
terbangun. Lelaki itu terbangun dengan terus mengingat kejadian semalam, ia
memandangi angkasa, ia mencari mata Cintanya, ia hendak memarahinya dan
bertanya, apakah Cintanya benar-benar mencintainya ?. Ia kini ingin tahu kemana
Cintanya pergi pada detik itu. Lelaki itu terus bertanya Cintanya, namun Cintanya
tak sedikitpun menjawab. Hanya cahaya dan terik Cintanya yang ia rasakan.
Diam-diam lelaki itu terus menyakini dirinya bahwa Cintanya mencintainya juga,
dan selalu memberinya cinta kasih. Lalu, lelaki itu bertekad akan mencari
kemana cintanya pergi pada detik-detik itu.
--
Ia
menanti Cintanya pergi setelah Cintanya mulai berubah menjadi warna jingga. ia
mengekor pada mata Cintanya. Cintanya pergi ke arah barat. Lelaki itu bersiap
menuruni hutan, ia terus mengekori mata Cintanya yang sangat cepat berlari. Ia
menuruni hutan, melewati sungai, melewati perkebunan-perkebunan. Ia terus
memusatkan perhatian pada Cintanya, di tengah-tengah hal-hal ajaib yang baru
kali ini ia lihat. Tadi, ia melewati beberapa perkebunan, entah itu buah apa,
bulat berwarna merah, ia melihat banyak orang menyiraminya, memetiknya. Ia
kemudian melewati orang-orang yang sangat banyak ditengah orang-orang membuka
lapak-lapak buah, sayur, dan barang-barang lain yang tak pernah ia lihat
sebelumnya. Ia kini berada ditengah-tengah lautan manusia dan bangunan-bangunan
yang begitu tinggi. Ia mengerutkan dahi mengapa ada tempat seperti ini. Ia
tertegun melihat manusia-manusia yang lain, memakai pakaian beragam bentuk,
memakai barang-barang yang ia tak tahu itu apa. Ia coba mendekati salah satu
manusia, ia tersentak pada bau harum dari tubuh manusia itu, itu bukan bau daun
atau bunga-bungaan seperti di hutan.
Lelaki
itu hanya mengenal satu manusia yang jarang berbicara. Manusia itu hanya
memberinya makanan, pakaian, dan minuman yang ditukarkan dengan sepotong-dua
potong kayu olahannya. Manusia pembeli kayu itu tak banyak berbicara, manusia
itu hanya berbicara dengan yang disebut ia radio di dalam mobilnya. Kini, ia
melihat manusia-manusia berserakkan berbicara, tertawa, menangis, menggerutu,
atau berteriak. Tak pernah dalam fikirannya, bahwa manusia bisa sebanyak ini,
manusia bisa bergerak seperti ini, manusia bisa serumit ini. Lelaki ini seperti
makhluk asing yang berada ditengah lautan manusia. ini hanya masalah manusia,
belum lagi masalah bangunan-bangunan yang begitu kokoh dan tinggi menjulang
atau lampu-lampu dengan cahaya berwarna-warni.
Otaknya
kini berputar dan terasa penuh untuk memikirkan semua ini. matanya menjadi
susah untuk berkonsentrasi hanya pada mata Cintanya. Sedangkan, mata Cintanya dengan
sangat cepat beranjak dari angkasa. Sebentar lagi, mata Cintanya akan
bersembunyi lagi dengan malu-malu. Dengan sedih dan lelah, ia merelakan Cintanya
pada detik ini pergi meninggalkannya.
--
Ia
berlari, terus berlari. Menuruni hutan, melewati sungai, melewati
bangunan-bangunan tinggi, menabrak manusia-manusia berbau harum, berlari terus,
tak kenal lelah dan malu. Ia merasa dirinya diperhatikan oleh manusia-manusia
lain, tapi dia acuh. Ia hanya menginginkan Cintanya, Cintanya dalam hidupnya,
satu-satunya hal yang mampu membuat ia tersenyum. Manusia-manusia lain mungkin
memiliki cinta lain. Manusia-manusia lain tak akan mengerti rasa cintanya pada Cintanya,
Matahari.
--
Detik
berganti detik, namun ia belum bisa menemukan dimana Cintanya pada detik itu.
Ia terus berlari ke arah barat. Cintanya yang selalu ia temukan ketika ia
terbangun dan bekerja, Cintanya yang selalu ia percaya akan menemaninya, Cintanya
yang ia percaya juga mencintainya. Ia sedih sekaligus marah, ia merasa cintanya
telah mengkhianatinya. Kemana cintanya mendua. Ia terus berlari mengejar Cintanya.
Terbesit dalam fikirannya untuk bertanya pada manusia lain, tapi apa manusia
lain mengetahuinya ? apa manusia lain juga memperhatikan Cintanya ?. Tiba-tiba,
pipinya memerah, apakah manusia lain juga mencintai Cintanya, apakah manusia
lain juga dicintai oleh Cintanya ? apakah manusia lain mendapat kasih cinta
dari Cintanya ?. Dadanya sesak, lelaki itu cemburu. Ia terus menggerakkan
kakinya berlari ke arah barat. Barat ..
--
Ia
merasakan nafasnya terengah-engah, ia meneguk air. Ia membutuhkan istirahat.
Badannya kini terduduk, menyandarkan tubuh pada dinding sebuah bangunan bewarna
putih, meluruskan kakinya sambil mengatur nafasnya yang tak jelas ritmenya. Ia
memandangi angkasa yang belum ditinggalkan oleh cintanya. Pelan-pelan, ia
berbisik pada dirinya, ‘sayang, mengapa kau melakukan ini padaku ? apakah kau
tidak mencintaiku ?’. matanya kini menerawang pada hilir mudik
manusia-manusia bergerak.
Seorang
manusia dengan rambut berwarna putih, gigi yang tak penuh lagi, pakaian
bercorak cokelat dan bertopi melingkar yang tak bagus lagi mendekati lelaki
itu. Manusia tua itu membawa semacam tongkat untuk menggail sampah dan
memasukkan pada karung yang diselempangkan di balik tubuhnya.
‘kamu
darimana, Nak ? kalau boleh tahu, hendak apa ke Kota ?’ ujar manusia tua itu
memulai.
Lelaki
itu mengernyitkan dahi, sambil berfikir perlukah ia bertanya pada manusia tua
itu, mungkin hanya sia-sia saja. ‘dari hutan itu’ jawabnya sambil menunjuk pada
tumpukkan pohon-pohon yang terlihat kecil dari tempat ini. ‘saya hendak
menjemput cinta saya’ tambah lelaki itu lantang.
‘oh..
jauh sekali, jalan kaki ? tahu dimana cinta kamu berada sekarang ?’ Tanya
manusia tua itu dengan agak terkejut pada perjalanan lelaki muda itu.
‘entahlah
dimana, tak tahu harus kemana dan bagaimana’ jawabnya lelah.
‘kau
bertengkar dengannya ? kenapa ia pergi ?’ selidik manusia tua itu penasaran.
‘maaf mungkin kakek bisa membantu’.
Kakek
? pikir lelaki itu, sebutan untuk manusia tua itu kakek .. lelaki itu merasa
nyaman berbicara dengan kakek itu, tidak pada manusia pembeli kayu itu. Ia
akhirnya memutuskan untuk menceritakan Cintanya. ‘apa mungkin, cinta saya sudah
tidak mencintai saya lagi ? Apa kakek pernah mencintai sesuatu ?’.
‘hemm..
kakek tahu rasanya cinta. Ada sesuatu yang sangat-sangat kakek cintai.
Memangnya, siapa nama yang kamu cintai itu ?’
‘namanya
.. matahari’
‘wow
nama yang terdengar cantik’
‘iya
kek, memang cantik .. sekarang dia berwarna jingga, sebentar lagi dia
meninggalkan kita ..’ jawab lelaki itu dengan mata berkaca-kaca.
‘maksudnya
.. kita , apa Nak ?’ Tanya kakek heran
‘itu
.. itu cinta saya .. dia selalu membangunkan saya dan menidurkan hari-hari
saya, sekarang saya baru tahu, kalau cinta saya pada saat saya tertidur pergi
meninggalkan saya, menduakan saya .. ‘ jawabnya sedih sambil menunjuk mata Cintanya.
‘hahaha..
kamu serius nak, mencintai matahari .. matahari yang itu !! ‘ ujar kakek dengan
kerutan senyum diwajah sambil menunjuk-nunjuk ke atas.
Lelaki
itu tersinggung, seperti yang ia duga tidak ada gunanya berbicara pada kakek
tua itu. ‘iya kenapa kek ? salah ? matahari sangat berarti bagi saya, saya
tidak dapat melihat dan bekerja tanpa sinar matahari itu, benar .. kakek tak
pernah mengenal cinta ..’ jawab lelaki itu dengan setengah teriak.
‘hehehe..
maaf maaf kakek salah’ kakek mengatur nafasnya, dan berbicara dengan serius,
‘iya kakek bersyukur adanya matahari, kakek senang ada matahari, kakek suka,
bukan cuma kakek, semua manusia di sini, pasti menyukai matahari ada di sini ..
tapi kamu mengejar matahari karena ia terbenam ?’
‘terbenam
?’
‘iya
itu kejadian alam, matahari terbit dari timur, dan terbenam dari barat .. kau
tahu bahwa bumi ini bulat’
‘bumi
bulat ?’
‘hehe,
kau macam manusia hutan Nak, ini tanah .. tanah ini berada di lapisan bumi.
Bumi itu apa yang kita injak sekarang. Nah, bentuk bumi itu bulat .. bisa
berputar, matahari ada di sana .. sangat
jauh, bulat juga, seperti bola api. Matahari juga berputar’
‘kakek
tahu darimana ? apa itu benar ?’
‘dari
cucu kakek yang sekarang sekolah dasar, dari buku-buku, penemuan, jelas benar.
Bulat bumi bisa dirasakan kita saat ini’ kakek berucap dengan bangga seperti
guru, ‘lihat hutan kamu .. kau bisa lihat kenapa pohon-pohon di hutan itu
terlihat kecil dan rendah ?’
Lelaki
itu menggelengkan kepala, ‘mungkin karena jauh’
‘iya,
hutan kamu terlalu jauh hingga mata tak mampu melihat yang sebenarnya, bahwa
pohon di hutan kamu itu besar dan tinggi. Dan bumi itu bulat hingga membuat
kita yang melihat dari sini, pohon itu berada di bawah kita. Seperti tanah ini
menurun bukan ? atau coba lihat mobil yang berjalan itu .. kenapa menghilang
setelah ia jauh ? karena bumi ini bulat, ia tak menghilang, hanya ke bagian
atau tanah di bagian yang lain, Nak’
‘berarti
matahari juga tidak menghilang, hanya berpindah ke bagian lain ?’
‘benar.
Bumi ini berputar, bergerak. Matahari juga bergerak. Jadi matahari bisa berada
di tempat-tempat yang lain’
‘kenapa
saya tak merasakan kalau bumi itu berputar ? dan apakah matahari tetap
mencintai saya ?’
‘tidak
terasa karena bumi berputar sangat cepat, sampai-sampai manusia-manusia tidak
merasakan. Mm.. Matahari mungkin tidak mencintaimu, Nak. Matahari tidak
berbicara, dia hanya makhluk mati’
‘mati
.. tidak mungkin, matahari yang membangunkan saya, menidurkan saya,
menghangatkan saya ..’
‘kita
hidup di dunia, mengenal benda mati dan makhluk hidup. Benda mati itu semua
benda yang mati, tidak berbicara, tidak berfikir, tidak makan, seperti
matahari, hanya berjalan sesuai perintah Sang Pencipta. Makhluk hidup itu semua
hal yang bisa tumbuh, berfikir, makan, dll seperti kita, manusia, hewan,
tumbuhan ..’
‘hemm
.. siapa yang membuat itu semua ?’
‘Sang
Pencipta, yang Maha Menciptakan dan Maha Mengatur’
‘dimana
dia ? saya ingin meminta matahari terus berada di atas saya’
‘haha..
kau tak mengenal siapa Sang Pencipta, lihatlah ..’ perintah kakek menunjuk
bulatan berbinar ketika matahari telah meninggalkan kami. Matahari di kota
telah berganti dengan lampu-lampu buatan manusia. lelaki itu jadi bisa melihat
indahnya kota. Lalu, lelaki itu terheran adanya bulatan berbinar di malam hari.
‘itu bukan matahari, itu bulan tidak bercahaya seperti matahari .. kau tahu,
kau dan kakek dicintai oleh Sang Pencipta .. Matahari datang ketika orang-orang
bekerja dan bergerak agar kita semua bisa hidup. Dan bulan datang ketika
manusia-manusia tertidur, beristirahat. Kau bisa merasakan lebih nyaman mana
tertidur di bawah terik matahari atau ketika malam hari seperti ini, kau bisa
merasakan keheningan pada malam hari .. Sang Pencipta telah mengatur kehidupan
sebegitu hebat dan baiknya, Nak. Sang Pencipta memberi cinta kasih pada kita
semua‘ terang kakek dengan mata berbinar pula.
‘saya
mencintai matahari kek ..’ ujar lelaki itu meskipun menyetujui ucapan kakek.
‘kau
bisa terus bertemu dengan matahari di dunia, kau telah diberi kasih sayang oleh
Sang Pencipta, matahari juga ciptaan Sang Pencipta, Nak. Dan telah diatur
sedemikian baiknya untuk kita oleh Sang Pencipta. Sang pencipta berada sangat
dekat pada dirimu, Nak. Kau harus berterimakasih pada Sang Pencipta’ kakek
menghela nafas, ‘kalau kau ingin matahari selalu di atasmu, berarti kau hanya
mementingkan diri sendiri, kau tak melihat keinginan manusia-manusia lain.
Lagipula, hanya Sang Pencipta yang berhak mengatur dan menjalankan ciptaan-Nya.
Sang Penciptalah yang Maha Mengetahui. Misalnya, kau punya sehelai daun, lalu
kakek ingin daun itu dirobek-robek, apa kau memberikan daun itu pada kakek?’
Lelaki
itu menggelengkan kepala
‘padahal
daun itu bukan milik kau, Nak. Daun itu hanya ketika itu berada di tangan kamu.
Semua di dunia ini milik Sang Pencipta. Semuanya, termasuk sehelai daun itu.
Jadi, kau tak perlu mengejar matahari lagi. Karena matahari memang ada waktunya
terbit dan terbenam, Nak. Yang kau perlukan adalah berterimakasih pada Sang
Pencipta, yang memberi waktumu saat ini berjumpa dengan matahari, bulan,
manusia, dll.’ Kakek tersenyum, ‘jika begitu, mengapa kau tak mencintai Sang
Pencipta ? yang memberimu cinta kasih tak terhingga’
Lelaki
itu terdiam, berfikir.
‘kau
tahu, apa perbedaan manusia dengan hewan dan tumbuhan ?’
Lelaki
itu menggeleng.
‘manusia
adalah makhluk yang bisa berfikir. Berfikirlah Nak untuk tahu semua hal’
lelaki
itu menatap dengan mata menerawang, ‘apa jadinya jika manusia tidak berfikir ?’
‘jadi
manusia yang tidak tahu, tidak tahu apa-apa, padahal di sana, di tempat yang
lain, ada berbagai hal yang sangat menakjubkan’
‘apa
saya termasuk manusia yang tidak berfikir ?’
‘berfikir,
kemudian bertanya. Temukan jawaban. Kau bisa mulai berfikir dari detik ini,
Nak’ ucap kakek sambil menepuk bahu lelaki itu.
‘untuk
apa manusia ada di dunia Kek?’
‘hehehe
.. untuk itu kau perlu berfikir, agar tahu untuk apa kau, Nak hidup di dunia
ini’
‘kakek
tahu, untuk apa kakek ada di dunia ini ?’ Tanya lelaki itu setengah tak
mengerti.
‘hehehe
.. untuk bertemu dengan kau dan mengatakan, bahwa matahari tak mencintaimu tapi
Sang Penciptalah yang mencintaimu, Nak ..’ jawabnya dengan sisa-sisa rentetan mutiara
putih di mulutnya.
Lelaki
itu tersenyum, sedikit paham. Ia ingin sekali mengenal Sang Penciptanya, ingin
sekali berterimakasih, dan ingin mencintai Sang Pencipta. Ia tersadar, bahwa ia
adalah manusia yang harus berfikir, bertanya, dan bergerak. Ia bertekad tidak
akan menyia-nyiakan detik-detiknya menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar