Jumat, 06 Juni 2014

Cerita Nuri Cinta Lingkungan Hidup



Seperti biasa, ia mempersilahkan makanan kepadaku dengan wajah tersenyum. Dengan manja aku menerima semuanya darinya. Hidup seperti ratu bukanlah keinginan satu dua orang, namun banyak orang. Tanpa perintah, mereka berbaik hati padaku. Sekalipun terkadang, rasanya bosan menerima segala kebaikan mereka terus menerus. Dan keluhan sesaat terbayar ketika mereka mendengarkan aku serius bernyanyi, simbol terimakasihku.
Mungkin, aku adalah makhluk ajaib, aku mengerti segala bahasa mereka, hingga bahasa yang tersirat. Pagi itu seperti biasa, Rio anak laki-laki berumur 12 tahun dengan gesit membuntuti Ayahnya ke halaman rumah. Dengan pakaian lepas dari tidur, mereka membuka ember-ember sampah yang berwarna-warni. Ember itu berasal dari ember bekas cat tembok yang berukuran besar. Waktu itu, hari libur mereka, dengan sumringah mereka melumuri ember itu dengan cat putih sebagai warna dasar, kemudian diberi corat-coret sang Rio kecil. Coret-coret itu berwarna-warni dan lebih terkesan seperti lukisan abstrak, dibanding terlihat lukisan yang jelas dan utuh.
Dua ember bekas itu masing-masing memiliki nama, yang satu bernama ‘sampah organik’ dan ‘sampah nonorganik’. Ayahnya yang sabar, menjelaskan perbedaan jenisnya, dengan memperlihatkan barang-barang jenis sampah tersebut.

“Ini plastik, botol, kaleng buang di ember sampah yang nonorganik” ujar Ayah sambil membuang ketiga barang itu di tempatnya.
“Nah, kalau sisa-sisa makanan seperti ini, tulang ayam, tulang ikan, daun kering, buang di ember ini” tambah Ayah seraya membuang barang-barang tadi ke sampah organik.
Rio kecil yang kala itu berumur 8 tahun bertanya, “kenapa dipisah-pisah, Ayah?”
Kemudian Ayah menjelaskan tentang sampah plastik yang tidak bisa terurai atau terendap ke dalam tanah. Sampai kapanpun bentuk plastik bertahun-tahun akan seperti itu, dan ada zat-zat kimia yang dapat menyebabkan racun bagi lingkungan hidup. Sementara sampah organik adalah sampah yang dapat  terurai ke dalam tanah, sehingga bisa diolah menjadi pupuk tanaman. Rio mengangguk-angguk seolah benar-benar mengerti.
Kali ini, mereka melakukannya lagi di setiap pagi yang segar. Selepas shalat subuh dan mengaji, laki-laki ini bergegas menggerakkan tubuh dan mengelola sampah-sampah mereka. Sampah organik mereka kelola dengan mesin kompos mereka untuk menjadi pupuk tanaman mereka. Sementara plastik-plastik mereka masukkan ke dalam karung goni besar yang diberikannya kepada pemulung yang membutuhkannya. Dengan nikmat, aku menyaksikan aktivitas mereka.
Rio tak kalah dengan kakaknya, Wildan. Wildan adalah remaja dengan kaus abu-abu, yang berpostur tegap dan sering memenangkan olimpiade sains dan matematika. Perawakannya yang bersih tak melunturkan semangatnya untuk memiliki kebiasaan yang aneh namun positif. Ia seringkali sepulang sekolah membawa satu kantong plastik besar berisikan botol-botol plastik yang tercecer di halaman sekolahnya. Botol-botol plastik itu ia kumpulkan di karung goni bersama dengan sampah plastik di rumahnya, yang nantinya diberikan kepada pemulung. Rio yang heran melihat kebiasaan kakaknya kala itu bertanya, “Kak, Kak kayak pemulung aja”. Dengan santai, Wildan menjawab, “Yang penting bisa ngasih orang lain dari keringet sendiri, yeee”.
Aku tak bosan-bosan bersyukur dapat hidup di tengah keluarga hangat ini. Kata mereka, aku cantik dan lincah. Semoga saja mereka juga bersyukur memiliki aku. Kamarku cukup luas dibanding kamar Berry, tetanggaku yang menurutku tak kalah cantiknya. Oh ya, perkenalkan namaku Nuri. Kamarku yang luas kadang tak cukup luas dengan rasa rinduku pada kampung halamanku. Sepertinya, aku sangat jauh berada di sini. Namun, aku sangat senang melihat mereka tertawa olehku.
Rio duduk di sofa depan televisi, menonton kartun kesukaannya, Sponge Bob Square Paints. Mungkin, Rio telah jatuh cinta pada kartun itu sehingga tak bosan-bosan melihat episodenya yang berulang-ulang. Rio memiliki beberapa kebiasaan yang sering membuat keluarganya sedikit berteriak, yaitu sering lupa mematikan lampu yang tidak dipakai, memutar kran untuk mematikannya, atau membuang-buang air ketika mandi. Rio suka sekali air, waktu mandi seperti jam surganya. Jika tidak diketok dari luar, mungkin Rio tetap bernyanyi-nyanyi ria di antara basahnya air. Rio seringkali berimajinasi di dalam kamar mandi, seolah ia melakukan perang. Ayahnya seringkali berkata, “Hemat air, hemat listrik, hemat energi Nak, selain karena harganya mahal, energi-energi alam itu bisa habis. Udah diajarinkan sama bu gurunya ?” kata Ayah mengingatkan. “Iya dek, masih banyak saudara-saudara kita yang kekurangan air bersih terus jatuh sakit, adek mau lihat saudara yang lain sakit?” tambah Wildan menakut-nakuti.
Ibunya tersenyum dari dapur sambil waspada pada wajan yang sedang menggoreng tempe. Ibunya tak kalah rajin dari Ayah dan anak-anaknya. Halaman rumah ini memiliki beranekaragam bunga, mulai bunga sepatu sampai anggrek. Satu pohon besar yaitu pohon mangga yang kokoh. Selain itu, ada beberapa tanaman sayuran yang buahnya dapat mereka rasakan langung, seperti cabai, bawang-bawangan, bayam, dan tomat. Ibunya akhir-akhir ini sedang berusaha menyuburkan tanaman daun sirih, kunyit, kunci, dan lain-lain. Ibunya juga memiliki kebiasaan yang unik. Ia teratur membawa tas kertas besar (biasanya ia dapatkan dari bungkus pakaian atau makanan) untuk menempatkan barang belanjaannya. Dan setiap kali ia keluar rumah untuk membeli barang keperluannya, ia tidak meminta barang itu dibungkus dengan tas kresek. Jika barang itu dapat digenggamnya atau dimasukkan pada tas jinjingnya, ia lebih memilih langsung menerimanya.
“Rio, Wildan, kalian tahu, di Indonesia ada sekitar 5 juta ton sampah plastik yang kita keluarkan pertahunnya. Dan kalian tahu, mengapa sampah plastik berbahaya bagi lingkungan hidup ? Sampah plastik itu dapat terurai dari 100 tahun hingga 500 tahun. Bayangkan selama itu, sampah-sampah plastik itu akan menumpuk ditempat pembuangan sampah atau bahkan sungai-sungai. Hal itu bisa menyebabkan tercemarnya tanah, air tanah, dan makhluk dalam tanah. Racun-racun dari plastik itu akan masuk ke dalam tanah dan akan membunuh hewan-hewan pengurai seperti cacing. Nah, jika tanpa cacing maka tanaman tidak dapat tumbuh subur. Ada jenis plastik pula yang meskipun termakan oleh binatang atau tanaman akan menjadi racun berantai sesuai rantai makanan. Ketika mati, hewan-hewan laut yang memakan kantong plastik tidak akan hancur juga, dan bisa mencemari hewan lain. Selain itu, plastik-plastik dapat menyumbat saluran air di sungai, laut, atau selokan. Kalau sudah tersumbat, hujan sedikit jadilah banjir” terang Ibunya. “Jadi jangan boros-boros sama plastik, sama kertas juga, air ... pokoknya semua energi alam yang nggak bisa diperbarui. Nanti kasian anak-anak Rio dan Wildan merasakan kekeringan, gersang, kekurangan makanan, sayuran, wah bisa-bisa nggak bisa ngerasain cap cay, Rio, hehe” ujar Ibunya dengan mencandai Rio yang doyan makan sayur cap cay.
Aku menyayangi keluarga ini, kata teman-temanku, aku sangat beruntung memiliki keluarga yang hangat dan cinta lingkungan hidup. Seringkali, aku bersiul-siul tatkala Rio dan Wildan asyik membaca buku pelajaran atau hanya komik. Aku telah lama berada di rumah ini, kalau tidak salah semenjak Rio kelas I SD.
Aku ingat, waktu itu Ayahnya membawaku dengan sebuah sangkar yang kecil. Dengan sangat mabuk aku melalui jalan yang panjang hingga menuju ke rumah ini. Aku berasal dari Papua, rumahku yang dulu adalah rumah yang sangat indah, dekat dengan langit-langit. Aku bisa bebas bergerak, kapanpun dan kemanapun. Saat Ayahnya menerimaku dari temannya, ia tersenyum sementara aku begitu ketakutan, stres, dan marah. Tak mudah hidup diantara bambu-bambu berukuran 1 x 1 m. Hanya ada sebuah ranting dan makanan dimana-mana. Namun Rio datang memberiku selamat datang, “Hai namaku Rio, nama kamu ... nama kamu Nuri, kamu lucu ya. Tapi kasian juga di dalam sangkar, mm tapi kita baek kok ke kamu, tenang aja, aku bakal ngerawat kamu, oke ?” sapa Rio setengah berbisik.
Hari demi hari kulalui, benar saja, aku mungkin adalah Nuri yang beruntung. Terdengar kabar, olehku kalau teman-temanku di pulau yang sangat jauh sana berguguran. Mati satu demi satu karena kekurangan tempat tinggal atau diburu oleh manusia tak bertanggungjawab.
Teringat olehku, dua bulan yang lalu Rio merengek meminta Ayahnya untuk melepaskanku. Dengan sabar, Ayahnya menerangkan padanya hal yang tak terdengar olehku. Ayahnya yang tak tahan akan rengekkannya, akhirnya membukakan pintu sangkarku, dan berlalu tanpa perintah apa-apa. Aku sendiri saat itu sudah jatuh cinta pada keluarga ini. Namun gelisah tentu ada padaku, antara rindu kampung halaman dan hal-hal yang tampak berbeda saat ini. Aku bisa melihat daerahku saat ini tak sehijau seperti kampung halamanku. Pohon-pohon besar bisa dihitung dengan jari, sementara gedung-gedung manusia yang tinggi tak terkalahkan. Aku sendiri tak yakin bisa melalui apa dan sampai apa jika keluar dari sangkar yang saat ini semakin luas. Kenyamananku di sini, menikmati kegiatan-kegiatan manusia berkelas tak akan mudah kudapati. Biru dan hijau sekarang berbeda sekali dengan dulu. Ketika aku bisa terbang setingginya, mengorek-ngorek pohon yang tinggi untuk tempat tinggalku, atau di sekitar tebing-tebing pinggir sungai.
Perlahan, kakiku menolak mengarah ke pintu sangkarku, berharap mereka tidak merasa beban selama ini telah merawatku. Beberapa menit kemudian, Rio menatapku heran dan berkata, “Hei Nuri, kamu kok nggak keluar ? keluar sana, kamu bisa bebas, enak lho bisa terbang, lihat keluarga kamu ... masak enak di dalam kamar terus ?”. Aku memekik, mengeluarkan suara merdu yang tinggi,  mengatakan “aku tak ingin”. Sia-sia, mereka tak akan mengerti bahasaku.
“Berarti Nuri betah tinggal di rumah ini Rio, udah nggak usah jadi masalah lagi, kasian juga kalau Nuri di luar alam sana. Di luar semua udah jadi gedung-gedung Rio, nggak ada pohon tinggi lagi. Kamu mau liat dia kayak gelandangan terus nyari makannya dimana ?” tegur Wildan.
“Bener kakak kamu, Rio. Yang penting, Nuri dijaga, dirawat bener-bener. Insyaallah Nuri seneng di sini kok” jelas Ibu seraya mengelus rambut Rio dengan lembut.
Dengan bahagia, aku menyanyikan lagu kesukaan teman-temanku, burung nuri yang lain. Warna merah terang pada buluku seolah ikut berjoget merayakan kebahagiaan bersama.

2 komentar:

  1. maksudnya, si nuri itu ta? ya burung nuri hehe. atau maksudnya penulis cerpen ? -.- maaf lola..

    BalasHapus