Selasa, 29 Mei 2012

Hari Kebangkitan Nasional



Tak asing lagi bagi kita saat kalender menunjukkan tanggal 20 Mei. Setiap hari ini, bangsa Indonesia memperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebentar kita berjalan mundur ke masa itu. Hari kebangkitan ini didasari oleh adanya semangat nasionalisme, semangat nasionalisme ini lahir tidak terlepas dari kesadaran akan kemerdekaan dibeberapa Negara di dunia bekas jajahan, seperti revolusi di unisoviet tahun 1917-1918.
Setelah bergesernya kekuasaan kerajaan-kerajaan kepada pemerintah hindia belanda, maka terjadi perubahan bentuk perjuangan dengan munculnya pola strategi perjuangan baru di kalangan penduduk Indonesiayaitu tidak mengedepankan rasa kesukuan dan lokalitas saja akan tetapi cenderung pada model persatuan dan kebersamaan, yang nantinya menjadi awal lahirnya rasa nasionalisme.

Dipelopori oleh dr. Wahidin Sudirohusodo pada 20 Mei 1908 mendirikan Budi Oetomo , maka peristiwa itu dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sehingga mucullah gerakan-gerakan Nasionalisme baru seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909 dibidang social keagamaan dan ekonomi, Indishe Partij tahun 1913 didirikan Ki Hajar Dewantoro dibidang Politik, dan lainnya. Sejak itu tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka.
Setelah itu, perjuangan nasional diteruskan dengan adanya peristiwa sumpah pemuda, pada tanggal 28 oktober 1928 yang diikuti oleh organisasi-organisasi pemuda. Pesertanya berjumlah 750 orang, dengan dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh Wr. Supratman untuk kali pertama.
Sebelumnya, kita menarik kata “nasionalisme” itu sendiri apa. Secara umum nasionalisme merupakan bentuk kesadaran suatu komunitas sebagai suatu bangsa, konsekwensinya adanya keinginan untuk menentukan nasib sendiri, baik itu batasan teritori, kedaulatan, bahasa, agama yang menonjolkan identitas spesifik bangsa. Jadi, paham ini adalah paham untuk mencintai bangsa atau Negara sendiri.
Semenjak 17 Agustus 1945, Indonesia memang dinyatakan telah merdeka namun bukan berarti rasa nasionalisme terhenti. Nasionalisme disuatu bangsa harus sangat dimiliki agar tercipta bangsa yang kokoh sehingga persatuan dan kesatuannya tetap terjaga meskipun banyaknya perubahan yang terjadi didunia (proses globalisasi).
Jawa pos, Sabtu 19 Mei 2012 memuat opini oleh Djoko Susilo, selaku Dubes RI di Swiss menceritakan mirisnya rasa nasionalisme yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, bahkan urusan makanan dan minuman sudah melupakan nasionalisme yang digelorakan para pejuang sejak satu abad lalu. Kita dapat melihat, banyaknya barang impor yang ada disajikan di mart, supermarket, hypermart. Memang menurutnya, suatu fakta bahwa kita menganggap suatu kemajuan didaerah ditandai dengan adanya mal atau pusat perbelanjaan modern dikawasan itu. Bukan hanya itu, seakan mal masih dianggap kurang, mal didirikan di tiap kecamatan yang menjual produk-produk asing. Dan menjamur pula mal yang menjajakan makanan asing semisal pizza, hot dog, dll. Namun bukan berarti beliau antiproduk asing justru tugasnya sebagai diplomat yang mengundang investor asing untuk masuk ke Indonesia. Tetapi tentunya berbeda antara investasi, mitra dagang strategis dan wisarawan asing dengan banjirnya barang-barang asing.
Padahal, diluar negeri, nasionalisme tetap merupakan bagian terpenting dari kehidupanbernegara, meskipun misalnya, sebuah Negara sudah masuk Uni Eropa dan blok regional lain. Di Swiss masyarakat akan membeli produk Swiss dulu sebelum melirik produk Negara lain. Mereka akan membeli barang asing jika barang tersebut memang sangat dibutuhkan atau bersfat eksklutif. Dan penjualan sangat laku karena kualitasnya sangat bagus, eksklutif dan eksois. Konsumen Swiss tidak akan membeli barang-barang asing yang bias diproduksinya sendiri. Jadi, barang asing tetap dibeli selama diperlukan dan berkualitas. Dan pemerintahan ini membijaksanakan larangangan membuka mart ditingkat kecamatan dan juga larangan tidak boleh buka 24 jam. Hal ini bertujuan mencegah meluasnya sikap komsumtif masyarakat dan agar pedagang tradisional tidak tergilas oleh pasar modern. Terbukti Di Kota Bern yang merupakan ibu kota Swiss hanya ada dua mal, yang keduanya terletak diluar kota dan jaraknya dari ujung ke ujung. Dengan kata lain, orang Swiss tidak total menolak pasar modern dalam bentuk mal, tetapi mengaturnya sedemikian rupa sehingga bias berkembang bersama pasar tradisional.
Dari opini di atas, kita memiliki pandangan berbeda antara Indonesia dan Swiss. Namun saya akan membicarakannya selaku mahasiswa. Mahasiswa yang dijuluki agen of changehendaknya menerapkan nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang dapat dikatakan nasionalisme. Seperti membeli barang-barang produk dalam negeri (banyak produk Indonesia yang mendunia), mengajar gratis untuk anak-anak yang kurang mampu serta menjaga kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah.
Mari kita menghargai perjuangan besar para pejuang kita dulu. Kita harus memulai dari diri kita sendiri karena sesuatu yang besar berawal dari sesautu yang kecil. 


dari. Jawa pos edisi Sabtu, 19 Mei 2012 dan buku Pancasila IAIN Sby 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar