Tak asing lagi bagi kita saat kalender
menunjukkan tanggal 20 Mei. Setiap hari ini, bangsa Indonesia memperingati sebagai Hari
Kebangkitan Nasional. Sebentar kita berjalan mundur ke masa itu. Hari kebangkitan
ini didasari oleh adanya semangat nasionalisme, semangat nasionalisme ini lahir
tidak terlepas dari kesadaran akan kemerdekaan dibeberapa Negara di dunia bekas
jajahan, seperti revolusi di unisoviet tahun 1917-1918.
Setelah bergesernya kekuasaan
kerajaan-kerajaan kepada pemerintah hindia belanda, maka terjadi perubahan
bentuk perjuangan dengan munculnya pola strategi perjuangan baru di kalangan
penduduk Indonesiayaitu tidak mengedepankan rasa kesukuan dan lokalitas saja
akan tetapi cenderung pada model persatuan dan kebersamaan, yang nantinya
menjadi awal lahirnya rasa nasionalisme.
Dipelopori oleh dr. Wahidin
Sudirohusodo pada 20 Mei 1908 mendirikan Budi Oetomo , maka peristiwa itu
dikenal sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sehingga mucullah gerakan-gerakan
Nasionalisme baru seperti Sarekat Dagang Islam (SDI) tahun 1909 dibidang social
keagamaan dan ekonomi, Indishe Partij tahun 1913 didirikan Ki Hajar Dewantoro
dibidang Politik, dan lainnya. Sejak itu tujuan yang jelas yaitu Indonesia
merdeka.
Setelah itu, perjuangan nasional
diteruskan dengan adanya peristiwa sumpah pemuda, pada tanggal 28 oktober 1928 yang
diikuti oleh organisasi-organisasi pemuda. Pesertanya berjumlah 750 orang,
dengan dikumandangkannya lagu Indonesia Raya oleh Wr. Supratman untuk kali
pertama.
Sebelumnya, kita menarik kata “nasionalisme”
itu sendiri apa. Secara umum nasionalisme merupakan bentuk kesadaran suatu
komunitas sebagai suatu bangsa, konsekwensinya adanya keinginan untuk
menentukan nasib sendiri, baik itu batasan teritori, kedaulatan, bahasa, agama
yang menonjolkan identitas spesifik bangsa. Jadi, paham ini adalah paham untuk
mencintai bangsa atau Negara sendiri.
Semenjak 17 Agustus 1945, Indonesia
memang dinyatakan telah merdeka namun bukan berarti rasa nasionalisme terhenti.
Nasionalisme disuatu bangsa harus sangat dimiliki agar tercipta bangsa yang
kokoh sehingga persatuan dan kesatuannya tetap terjaga meskipun banyaknya
perubahan yang terjadi didunia (proses globalisasi).
Jawa pos, Sabtu 19 Mei 2012 memuat
opini oleh Djoko Susilo, selaku Dubes RI di Swiss menceritakan mirisnya rasa
nasionalisme yang dimiliki bangsa Indonesia saat ini, bahkan urusan makanan dan
minuman sudah melupakan nasionalisme yang digelorakan para pejuang sejak satu
abad lalu. Kita dapat melihat, banyaknya barang impor yang ada disajikan di mart, supermarket, hypermart. Memang menurutnya,
suatu fakta bahwa kita menganggap suatu kemajuan didaerah ditandai dengan
adanya mal atau pusat perbelanjaan modern dikawasan itu. Bukan hanya itu, seakan
mal masih dianggap kurang, mal didirikan di tiap kecamatan yang menjual
produk-produk asing. Dan menjamur pula mal yang menjajakan makanan asing
semisal pizza, hot dog, dll. Namun bukan
berarti beliau antiproduk asing justru tugasnya sebagai diplomat yang
mengundang investor asing untuk masuk ke Indonesia. Tetapi tentunya berbeda
antara investasi, mitra dagang strategis dan wisarawan asing dengan banjirnya
barang-barang asing.
Padahal, diluar negeri, nasionalisme
tetap merupakan bagian terpenting dari kehidupanbernegara, meskipun misalnya,
sebuah Negara sudah masuk Uni Eropa dan blok regional lain. Di Swiss masyarakat
akan membeli produk Swiss dulu sebelum melirik produk Negara lain. Mereka akan
membeli barang asing jika barang tersebut memang sangat dibutuhkan atau bersfat
eksklutif. Dan penjualan sangat laku karena kualitasnya sangat bagus, eksklutif
dan eksois. Konsumen Swiss tidak akan membeli barang-barang asing yang bias diproduksinya
sendiri. Jadi, barang asing tetap dibeli selama diperlukan dan berkualitas. Dan
pemerintahan ini membijaksanakan larangangan membuka mart ditingkat kecamatan dan juga larangan tidak boleh buka 24 jam.
Hal ini bertujuan mencegah meluasnya sikap komsumtif masyarakat dan agar
pedagang tradisional tidak tergilas oleh pasar modern. Terbukti Di Kota Bern
yang merupakan ibu kota Swiss hanya ada dua mal,
yang keduanya terletak diluar kota
dan jaraknya dari ujung ke ujung. Dengan kata lain, orang Swiss tidak total
menolak pasar modern dalam bentuk mal, tetapi mengaturnya sedemikian rupa
sehingga bias berkembang bersama pasar tradisional.
Dari opini di atas, kita memiliki
pandangan berbeda antara Indonesia
dan Swiss. Namun saya akan membicarakannya selaku mahasiswa. Mahasiswa yang
dijuluki agen of changehendaknya
menerapkan nasionalisme dalam kehidupan sehari-hari. Banyak hal yang dapat
dikatakan nasionalisme. Seperti membeli barang-barang produk dalam negeri
(banyak produk Indonesia
yang mendunia), mengajar gratis untuk anak-anak yang kurang mampu serta menjaga
kebersihan lingkungan dengan tidak membuang sampah.
Mari kita menghargai perjuangan besar para
pejuang kita dulu. Kita harus memulai dari diri kita sendiri karena sesuatu
yang besar berawal dari sesautu yang kecil.
dari. Jawa pos edisi Sabtu, 19 Mei 2012 dan buku Pancasila IAIN Sby 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar