Minggu, 13 Mei 2012

Pelajaran Hari ini


Aku ingin menceritakan sebuah kisah indah disebagian hidupku, namun juga sebuah mimpi buruk yang bisa saja dialami oleh semua mahasiswi. Karena saya suka berita baik, saya akan memulainya dengan berita baik.
Pagi itu seperti biasa, saya bergegas untuk berjalan ke kampus mengikuti kelas pagi bahasa. Melewati gang-gang kecil agar lebih pendek jaraknya ke kampus, mungkin hanya perasaan saja lebih pendek karena merasa berjalan diperkampungan. Hari ini, jalanku agak lebih cepat karena berharap dapat memiliki kaos kaki pink bergambar kepala perempuan digaris tepinya yang sudah mengangguku selama berhari-hari ini dan berharap pula ukurannya bisa pas dengan kakiku yang besar - namun ideal dengan tubuhku yang menjulang.
Akhirnya, aku bisa membawa kaos kaki itu kedalam tasku setelah ditukar dengan Rp. 3.500. kata temanku setelah melihat kaos kakiku, kaos kaki ini memang lucu gambarnya, aku semakin tidak sabar melenggangkan kakiku dengan kaos kaki itu – saat mengetik, kaos kaki ini menatapku lembut -. Tentunya pembicaraan temanku ini seusai kelas pagi kami. Kemudian aku dan lainnya mengikuti pelajaran seperti biasa.
Jeda jam kelas pertama ke jam kedua 15 menit, waktu singkat untuk pergi makan dibelakang kampus, tapi perutku mulai protes minta diisi. Setidaknya aku butuh ganjelan untuk menenangkan perutku ini, aku turun kebawah menuju kantin Fakultas milik Jurusan Manajemen ini. Menurutku, kantin ini sangat membantu kami dalam hal keperluan, sampai keperluan pribadi – pembalut – tersedia di sini, dan tempat ini sangat membantu penerapan ilmu dari anak manajemen, dan yang penting juga, membantu orang lain yang ingin menitipkan makanannya untuk dijual. Ote-ote, tahu isi, pisang goreng, usus lengkap dengan petis hitam dan cabenya adalah makanan yang dinanti-nanti kami seusai kelas pagi bahasa. Lebih-lebih oleh teman sekelasku yang nge-fans banget sama ote-ote. Dia juga suka acesorris berbentuk sapi tapi sepertinya lebih sering mengingau ote-otenya ketimbang sapinya, tak salah jika dijuluki miss ote-ote, hehe.
aku membeli satu tahu isi, klepon dan sebungkus kerupuk untuk camilan dikelas – sangat membahagiakan memiliki jam kelas yang memperbolehkan makan saat jam kuliah berlangsung, hehe – aku kembali ke kelas dengan menaiki sebuah anak tangga, kali ini aku berjalan sendiri karena temanku lagi males turun untuk menemaniku. Itu tak masalah, yang penting perutku mendapat haknya. Aku berjalan dengan arah ke depan dan sesekali menunduk, berharap menemukan uang-uang receh tergeletak dibawah atau sekedar menikmati model-model sepatu yang dikenakan mahasiswi lainnya, kemudian berdecak kagum dan menahan dompet untuk tidak memburunya.
Aku terpaku, senyumku menggulung ragu-ragu. Seorang lelaki berdiri didepanku dari kejauhan, seseorang yang sekelas denganku di jam pagi bahasa semester lalu. Dia menyapaku dengan senyumannya yang tulus dan hangat. Aku terpana dengan keramahannya. Mungkin kalian berfikir apa yang mengherankan teman sekelas menyapa teman perempuannya?. Masalahnya, selama sekelas dengannya, selama itu pula aku tidak pernah benar-benar berbicara dengannya dan tepatnya belum pernah benar-benar melihat wajahnya dengan senyumnya. Dikelas dulu, aku hanya cukup mengetahui namanya dan dapat menjawab soal meskipun dengan suara pelan dari dosen bahasa sudah membuatku puas.
Kemudian aku mulai mengingatnya sambil menaiki anak-anak tangga. Dia lelaki yang bisa dibilang cool, perawakannya tinggi, putih dan bersih. Suka menggenakan jaket luaran untuk melapisi kaos atau hemnya. Hebatnya, aku ingat, dia memiliki suara indah saat mengaji. Aku mungkin terlalu ge-er disapa dengannya tapi bukan itu yang aku pikirkan, tapi yang perlu digarisbawahi adalah, dia seseorang yang, mungkin, dikagumi oleh semua perempuan yang mengenalnya, dengan rendah hatinya, dia tanpa sungkan menyapa seseorang, yang mungkin, dia hanya kenal wajah, tidak mengetahui namaku siapa. Tak perlu menunggang kuda putih, dia telah tampak seperti seorang pangeran.
Aku masuk kelas, dan mulai menikmati tahu isi dengan colekan petis melupakan seutas senyum itu, setidaknya untuk beberapa menit, pangeranku J.
Malam, aku ingat benar besok aku akan mempresentasikan salah satu makalahku. Tapi malam ini, aku ingin sekali menamatkan novel “negeri 5 menara” yang terlambat sekali untuk dibaca mengingat filmnya telah diputar beberapa waktu yang lalu. Sebuah pengalaman pribadi seseorang yang menamatkan ilmu seusai MTsn di asal kotanya di sebuah pondok Menara, Gontor, Jawa Timur. Keinginannya masuk SMA agar menjadi seperti BJ. Habibie yang intelektual tergadaikan karena menjalankan perintah Ibunya agar meneruskan ke sekolah agama. Berharap, calon pemimpin Islam adalah seseorang yang pandai baik dari agamanya juga akademiknya, bukan hanya karena anak bermasalah, kekurangan keuangan atau sisa-sisa karena tidak diterima disekolah negeri. Berangkat dari keterpaksaan, “Alif Fikri” tokoh utama, mulai mendapat banyak ilmu dan pencerahan hatinya di pondok ini. Meskipun terkadang, surat-surat dari sahabat dikampungnya yang masuk SMA cukup membuat iri. Namun dari pondok inilah dia banyak belajar dan memiliki teman-teman dari berbagai daerah, kemudian karena sering berkumpul berenam dengan teman-teman barunya ini, mereka dijuluki dengan sahibul menara. Dari novel ini, banyak hal bermanfaat yang bisa diambil.
Ingin tahu kisahnya?, silahkan pinjam ke perpusatakaan kita – setelah masa pengembalian saya habis, hehe ­-.
Jam 9 malam mataku sudah mengantuk dan menutup novel itu sebelum memberinya tanda pada halaman terakhir yang telah kubaca. Aku mulai mematikan lampu, dan terpejam. Seberapa menit mulai mengingat seutas senyuman pangeran itu.
Sinar pagi nan lembut menyapaku, alhamdulillah, membalas bismillahhirrahmannirrahim yang kulakukan sebelum tidur tadi malam. Aku bergegas.
Aku duduk di depan sebagai narasumber kali ini, saatnya mempertanggungjawabkan dengan apa yang tertera dimakalahku ini. Aku mengikuti temanku sebagai moderator yang mempersilahkanku membuka dan menutup presentasi. Aku mulai gugup, dosen dengan tenang menikmati makalah kami dibelakangku. Kali ini berbeda, aku presentasi single alias sendirian tanpa kelompok. Aku takut, banyak yang aku takutkan setiap maju untuk presentasi, takut salah omong atau bergerak tidak jelas sebagai tanda orang gugup. Aku melihat kedepan, aku semakin takut menatap mata teman-temanku sebagai pendengar. Ruangan jam kelas ini memang lebih sempit dari kelas jam lain. Terlalu dekat dengan teman-temanku, terlalu bisa mendengar desahan mereka yang mampu menyiutkan keyakinanku. AC terasa dingin dikulit, namun sepertinya kursi ini panas untuk diduduki – apa aku akan memiliki anak banyak? (mitos) -.
aku memulai dengan salam, kemudian meneruskan sepenggal-sepenggal kata yang aku kuras dari otak dan ditengah presentasi aku melakukan gerakan aneh bertanda nervous, dengan menelengkupkan wajahku dengan kedua tangan. Aku sungguh menahan ingin tertawa melihat teman-teman serius memandangiku, seperti hendak dimakan. Aku melihat teman dekatku, tanpa senyum ia membalas penglihatanku, aku keki, aku lalu melihat Miss ote-ote, aku merasa aku menjadi ote-otenya kali ini. Tak ada bulir keringat dari jidatku, tapi jantungku berdetak lebih cepat dan darahku mengalir lebih cepat pula, aku kehabisan kata. Ini terasa dalam ruang pengadilan, yang mengintrogasi terdakwanya, sesak.
Selesai untuk sesi presentasi, moderator mempersilahkan memberi pertanyaan kemudian menjawabnya. Banyak yang angkat tangan, aku mulai mencatat pertanyaan-pertanyaan yang mereka utarakan padaku. Banyak hal yang mungkin aku bicarakan dalam makalah ini. Sehingga pertanyaan datang dari berbagai masalah. Kali kedua, aku keki. Pertanyaan ketiga, aku mulai mencari jawaban pertama dalam fotokopi-fotokopianku. Pertanyaan telah lima, aku diberi waktu untuk bersiap menjawabnya.
Jawaban, aku ingin meringkas menjadi sebuah paragraf dengan menjawab nomor-nomor pertanyaan dengan acak agar menjadi satu. Namun diluar rencana, setelah menjawab dua soal, dosenku tidak puas dengan jawabanku, aku telah salah menjawab, kemudian aku mengulangi jawaban, dan dosenku bertanya, “apa dalilnya?”.
“Siip, aku benar-benar keki” itulah jawaban sesungguhnya dalam hatiku, karena aku tidak tau dalilnya, aku menjawab pertanyaan dari apa yang pernah aku baca dan realitas sosial pada umumnya. Aku menggeleng pada dosen, menandakan aku tidak tau. Aku kalah. Aku gagal.
Selesai, kemudian duduk dikursi seperti yang lainnya didekat teman dekatku, kemudian berceloteh panjang dan sangat lebar karena ketidaktahuanku dalam presentasi tadi. Aku gagal dalam presentasi ini. Kemudian menelungkup wajah seraya membenamkan wajah pada tas dan samar-samar mendengarkan MP3 dari Hp teman. Ingin rasanya berteriak dalam air.
Hari ini, aku tau. Aku perlu mengingat nama-nama orang beserta ucapaannya. Aku perlu sebuah dasar, dasar yang mampu dengan kuat menyandarkan ideologiku ini. Aku perlu itu semua sebelum berbicara apalagi menjawab. Aku juga perlu mempertegas dan memperlambat berbicara agar pendengar bisa memahami apa yang aku maksud. Pelajaran hari ini tidak dapat aku dapatkan sebelum aku mengalami kegagalan ini.
Kegagalan adalah sukses yang tertunda, karena dari gagal kita akan mendapat pelajaran kemudian mempelajari dan mulai membenahi diri untuk bersiap menuju kesuksesan itu.
Hal ini tidak akan hilang dalam ingatanku, seperti segulung senyum milik pangeran tanpa berkuda itu, terimakasih J.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar