Aku ingin menceritakan sebuah kisah indah disebagian hidupku, namun
juga sebuah mimpi buruk yang bisa saja dialami oleh semua mahasiswi. Karena
saya suka berita baik, saya akan memulainya dengan berita baik.
Pagi itu seperti biasa, saya bergegas untuk berjalan ke kampus
mengikuti kelas pagi bahasa. Melewati gang-gang kecil agar lebih pendek
jaraknya ke kampus, mungkin hanya perasaan saja lebih pendek karena merasa
berjalan diperkampungan. Hari ini, jalanku agak lebih cepat karena berharap
dapat memiliki kaos kaki pink bergambar kepala perempuan digaris tepinya yang
sudah mengangguku selama berhari-hari ini dan berharap pula ukurannya bisa pas
dengan kakiku yang besar - namun ideal dengan tubuhku yang menjulang.
Akhirnya, aku bisa membawa kaos kaki itu kedalam tasku setelah ditukar
dengan Rp. 3.500. kata temanku setelah melihat kaos kakiku, kaos kaki ini
memang lucu gambarnya, aku semakin tidak sabar melenggangkan kakiku dengan kaos
kaki itu – saat mengetik, kaos kaki ini menatapku lembut -. Tentunya
pembicaraan temanku ini seusai kelas pagi kami. Kemudian aku dan lainnya
mengikuti pelajaran seperti biasa.
Jeda jam kelas pertama ke jam kedua 15 menit, waktu singkat untuk pergi
makan dibelakang kampus, tapi perutku mulai protes minta diisi. Setidaknya aku
butuh ganjelan untuk menenangkan perutku ini, aku turun kebawah menuju
kantin Fakultas milik Jurusan Manajemen ini. Menurutku, kantin ini sangat
membantu kami dalam hal keperluan, sampai keperluan pribadi – pembalut – tersedia
di sini, dan tempat ini sangat membantu penerapan ilmu dari anak manajemen, dan
yang penting juga, membantu orang lain yang ingin menitipkan makanannya untuk
dijual. Ote-ote, tahu isi, pisang goreng, usus lengkap dengan petis hitam dan
cabenya adalah makanan yang dinanti-nanti kami seusai kelas pagi bahasa.
Lebih-lebih oleh teman sekelasku yang nge-fans banget sama ote-ote. Dia
juga suka acesorris berbentuk sapi tapi sepertinya lebih sering mengingau
ote-otenya ketimbang sapinya, tak salah jika dijuluki miss ote-ote, hehe.
aku membeli satu tahu isi, klepon dan sebungkus kerupuk untuk camilan
dikelas – sangat membahagiakan memiliki jam kelas yang memperbolehkan makan
saat jam kuliah berlangsung, hehe – aku kembali ke kelas dengan menaiki
sebuah anak tangga, kali ini aku berjalan sendiri karena temanku lagi males
turun untuk menemaniku. Itu tak masalah, yang penting perutku mendapat haknya.
Aku berjalan dengan arah ke depan dan sesekali menunduk, berharap menemukan
uang-uang receh tergeletak dibawah atau sekedar menikmati model-model sepatu
yang dikenakan mahasiswi lainnya, kemudian berdecak kagum dan menahan dompet
untuk tidak memburunya.
Aku terpaku, senyumku menggulung ragu-ragu. Seorang lelaki berdiri
didepanku dari kejauhan, seseorang yang sekelas denganku di jam pagi bahasa
semester lalu. Dia menyapaku dengan senyumannya yang tulus dan hangat. Aku
terpana dengan keramahannya. Mungkin kalian berfikir apa yang mengherankan
teman sekelas menyapa teman perempuannya?. Masalahnya, selama sekelas
dengannya, selama itu pula aku tidak pernah benar-benar berbicara dengannya dan
tepatnya belum pernah benar-benar melihat wajahnya dengan senyumnya. Dikelas
dulu, aku hanya cukup mengetahui namanya dan dapat menjawab soal meskipun
dengan suara pelan dari dosen bahasa sudah membuatku puas.
Kemudian aku mulai mengingatnya sambil menaiki anak-anak tangga. Dia
lelaki yang bisa dibilang cool, perawakannya tinggi, putih dan bersih.
Suka menggenakan jaket luaran untuk melapisi kaos atau hemnya. Hebatnya, aku
ingat, dia memiliki suara indah saat mengaji. Aku mungkin terlalu ge-er
disapa dengannya tapi bukan itu yang aku pikirkan, tapi yang perlu
digarisbawahi adalah, dia seseorang yang, mungkin, dikagumi oleh semua
perempuan yang mengenalnya, dengan rendah hatinya, dia tanpa sungkan menyapa
seseorang, yang mungkin, dia hanya kenal wajah, tidak mengetahui namaku
siapa. Tak perlu menunggang kuda putih, dia telah tampak seperti seorang
pangeran.
Aku masuk kelas, dan mulai menikmati tahu isi dengan colekan petis
melupakan seutas senyum itu, setidaknya untuk beberapa menit, pangeranku J.
Malam, aku ingat benar besok aku akan mempresentasikan salah satu
makalahku. Tapi malam ini, aku ingin sekali menamatkan novel “negeri 5 menara”
yang terlambat sekali untuk dibaca mengingat filmnya telah diputar beberapa
waktu yang lalu. Sebuah pengalaman pribadi seseorang yang menamatkan ilmu
seusai MTsn di asal kotanya di sebuah pondok Menara, Gontor, Jawa Timur.
Keinginannya masuk SMA agar menjadi seperti BJ. Habibie yang intelektual
tergadaikan karena menjalankan perintah Ibunya agar meneruskan ke sekolah
agama. Berharap, calon pemimpin Islam adalah seseorang yang pandai baik dari
agamanya juga akademiknya, bukan hanya karena anak bermasalah, kekurangan
keuangan atau sisa-sisa karena tidak diterima disekolah negeri. Berangkat dari
keterpaksaan, “Alif Fikri” tokoh utama, mulai mendapat banyak ilmu dan
pencerahan hatinya di pondok ini. Meskipun terkadang, surat-surat dari sahabat
dikampungnya yang masuk SMA cukup membuat iri. Namun dari pondok inilah dia
banyak belajar dan memiliki teman-teman dari berbagai daerah, kemudian karena
sering berkumpul berenam dengan teman-teman barunya ini, mereka dijuluki dengan
sahibul menara. Dari novel ini, banyak hal bermanfaat yang bisa diambil.
Ingin tahu kisahnya?, silahkan pinjam ke perpusatakaan kita – setelah
masa pengembalian saya habis, hehe -.
Jam 9 malam mataku sudah mengantuk dan menutup novel itu sebelum
memberinya tanda pada halaman terakhir yang telah kubaca. Aku mulai mematikan
lampu, dan terpejam. Seberapa menit mulai mengingat seutas senyuman pangeran
itu.
Sinar pagi nan lembut menyapaku, alhamdulillah, membalas bismillahhirrahmannirrahim
yang kulakukan sebelum tidur tadi malam. Aku bergegas.
Aku duduk di depan sebagai narasumber kali ini, saatnya
mempertanggungjawabkan dengan apa yang tertera dimakalahku ini. Aku mengikuti
temanku sebagai moderator yang mempersilahkanku membuka dan menutup presentasi.
Aku mulai gugup, dosen dengan tenang menikmati makalah kami dibelakangku. Kali
ini berbeda, aku presentasi single alias sendirian tanpa kelompok. Aku
takut, banyak yang aku takutkan setiap maju untuk presentasi, takut salah omong
atau bergerak tidak jelas sebagai tanda orang gugup. Aku melihat kedepan, aku
semakin takut menatap mata teman-temanku sebagai pendengar. Ruangan jam kelas
ini memang lebih sempit dari kelas jam lain. Terlalu dekat dengan
teman-temanku, terlalu bisa mendengar desahan mereka yang mampu menyiutkan
keyakinanku. AC terasa dingin dikulit, namun sepertinya kursi ini panas untuk
diduduki – apa aku akan memiliki anak banyak? (mitos) -.
aku memulai dengan salam, kemudian meneruskan sepenggal-sepenggal kata
yang aku kuras dari otak dan ditengah presentasi aku melakukan gerakan aneh
bertanda nervous, dengan menelengkupkan wajahku dengan kedua tangan. Aku
sungguh menahan ingin tertawa melihat teman-teman serius memandangiku, seperti
hendak dimakan. Aku melihat teman dekatku, tanpa senyum ia membalas
penglihatanku, aku keki, aku lalu melihat Miss ote-ote, aku merasa aku
menjadi ote-otenya kali ini. Tak ada bulir keringat dari jidatku, tapi
jantungku berdetak lebih cepat dan darahku mengalir lebih cepat pula, aku
kehabisan kata. Ini terasa dalam ruang pengadilan, yang mengintrogasi
terdakwanya, sesak.
Selesai untuk sesi presentasi, moderator mempersilahkan memberi
pertanyaan kemudian menjawabnya. Banyak yang angkat tangan, aku mulai mencatat
pertanyaan-pertanyaan yang mereka utarakan padaku. Banyak hal yang mungkin aku
bicarakan dalam makalah ini. Sehingga pertanyaan datang dari berbagai masalah.
Kali kedua, aku keki. Pertanyaan ketiga, aku mulai mencari jawaban
pertama dalam fotokopi-fotokopianku. Pertanyaan telah lima, aku diberi waktu
untuk bersiap menjawabnya.
Jawaban, aku ingin meringkas menjadi sebuah paragraf dengan menjawab
nomor-nomor pertanyaan dengan acak agar menjadi satu. Namun diluar rencana,
setelah menjawab dua soal, dosenku tidak puas dengan jawabanku, aku telah salah
menjawab, kemudian aku mengulangi jawaban, dan dosenku bertanya, “apa
dalilnya?”.
“Siip, aku benar-benar keki” itulah jawaban sesungguhnya dalam hatiku,
karena aku tidak tau dalilnya, aku menjawab pertanyaan dari apa yang pernah aku
baca dan realitas sosial pada umumnya. Aku menggeleng pada dosen, menandakan
aku tidak tau. Aku kalah. Aku gagal.
Selesai, kemudian duduk dikursi seperti yang lainnya didekat teman
dekatku, kemudian berceloteh panjang dan sangat lebar karena ketidaktahuanku
dalam presentasi tadi. Aku gagal dalam presentasi ini. Kemudian menelungkup
wajah seraya membenamkan wajah pada tas dan samar-samar mendengarkan MP3 dari
Hp teman. Ingin rasanya berteriak dalam air.
Hari ini, aku tau. Aku perlu mengingat nama-nama orang beserta ucapaannya.
Aku perlu sebuah dasar, dasar yang mampu dengan kuat menyandarkan ideologiku
ini. Aku perlu itu semua sebelum berbicara apalagi menjawab. Aku juga perlu
mempertegas dan memperlambat berbicara agar pendengar bisa memahami apa yang aku
maksud. Pelajaran hari ini tidak dapat aku dapatkan sebelum aku mengalami
kegagalan ini.
Kegagalan adalah sukses yang tertunda, karena dari gagal kita akan
mendapat pelajaran kemudian mempelajari dan mulai membenahi diri untuk bersiap
menuju kesuksesan itu.
Hal ini tidak akan hilang dalam ingatanku, seperti segulung senyum
milik pangeran tanpa berkuda itu, terimakasih J.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar